Pasar Otomotif Jangan Hanya untuk "Bancakan" Asing
Jumat, 9 November 2012 16:36 WIB
Oleh karena itu ketika mobil Esemka lahir, antusiasme bangsa Indonesia melesat tinggi. Gairah itu kian menjadi ketika Wali Kota Surakarta (kala itu) Joko Widodo secara demonstratif mengakui kehebatan Esemka, termasuk janjinya menjadikan Esemka sebagai mobil dinas wali kota.
Di Solo, mobil Esemka aneka tipe bakal dipamerkan pada 10-16 November 2012. Pameran ini menandai babak baru Esemka yang memasuki fase industri. Direktur PT SMK Sulistyo Rabono menjelang pembukaan pameran menyatakan optimismenya bahwa Esemka bakal laris di pasaran karena sudah lulus uji emisi dan laik jalan. Karena itu, perusahaannya punya nyali besar mengundang sejumlah petinggi daerah dari berbagai wilayah untuk menghadiri pameran Esemka.
"Target kami mobil ini bisa menjadi kendaraan operasional dinas pemerintah daerah di Indonesia," katanya.
Sebuah optimisme yang beralasan. Sudah saatnya Indonesia memiliki mobil asli merek Indonesia dengan suku cadang yang sebagian besar dipasok oleh industri domestik. Dari sisi permintaan, Indonesia sungguh pasar otomotif yang besar dan bertumbuh. Pada 2012, penjualan mobil baru di negeri ini diperkirakan menembus angka satu juta unit. Per Oktober 2012 saja, atau penjualan selama 10 bulan, sudah melampaui 850.000 unit.
Jadi, kalau itu terjadi, baru kali ini penjualan kendaraan roda empat melampaui angka satu juta unit.
Tentu ceruk pasar otomotif sebanyak itu tidak sepatutnya hanya untuk "bancakan" para produsen mobil merek asing. Sudah lama bangsa Indonesia mendambakan mobil, yang merek, komponen, dan proses pembuatannya dimiliki dan dikerjakan oleh anak bangsa. pada 1996, pemerintah menebar program Mobil Nasional. Namun itu tak lebih hanya penempelan label Timor untuk mengelupas merek KIA Sephia (Korsel).
Industri mobil memiliki efek berantai ekonomi yang panjang dan berkelanjutan sehingga bakal mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Ada ribuan komponen yang dibutuhkan oleh industri otomotif. Belum bisnis ikutannya, seperti bengkel mobil, perdagangan suku cadang, hingga bisnis cuci dan salon mobil.
Melihat harganya, produsen Esemka tampaknya menyasar kalangan yang akan "naik kelas", yakni mereka yang sebelumnya naik sepeda motor digiring beralih ke mobil. Esemka juga menyediakan mobil niaga dengan harga murah. Mobil pikap (pick up) Bima dipatok Rp65 juta-Rp75 juta, sedangkan SUV Rajawali dipatok Rp130 juta-Rp140 juta. Jauh lebih murah ketimbang merek Jepang dengan volume mesin sama.
Meski pasar otomotif sangat besar dan terus tumbuh, kehadiran mobil Esemka bakal diuji oleh mobil merek asing yang sudah mapan, terutama merek asal Jepang, yang sebentar lagi meluncurkan mobil murah dalam program pemerintah tentang mobil murah ramah lingkungan.
Toyota bersama kompatriotnya, Daihatsu, bakal menyesaki jalanan dengan dua mobil murah bernama Agya dan Ayla dengan harga Rp60 juta-Rp100 juta. Sebentar lagi pula raksasa otomotif India, Tata, juga bakal menggelindingkan mobil murah andalannya, Tata Nano, yang konon akan dijual di bawah Rp50 juta.
Agya, Ayla, Mirage (Mitsubishi), March (Nissan), atau Aveo (Chevrolet) memang jenis mobil kota (city car) dengan daya angkut empat orang. Akan tetapi, melihat nama-nama besar yang sudah malang melintang di jagad otomotif dunia, kehadiran mobil murah merek terkenal itu sepertinya menganggu kelahiran "bayi" bernama Esemka.
Bisakah mobil Esemka mengusir gangguan itu? Itulah yang harus dibuktikan Esemka.
Pewarta : -
Editor:
Zaenal A.
COPYRIGHT © ANTARA 2025