Logo Header Antaranews Jateng

Karya Shakespeare Disentuh Anak Merapi

Selasa, 12 Maret 2013 18:36 WIB
Image Print
Salah satu adegan teater dengan lakon "A Midsummer Night's Dream" karya sastrawan Inggris, William Shakespeare (1564-1616) oleh ratusan anak lereng Gunung Merapi di Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magel


Sekitar 140 anak di kawasan barat Gunung Merapi dengan sutradara dari Prancis yang sekaligus penulis naskah, Catherine "Kati" Basset, mementaskan lakon berlatar belakang Yunani kuno itu dengan durasi sekitar dua jam, di Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor", Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sekitar delapan kilometer barat daya puncak Gunung Merapi.

Pemimpin padepokan, Sitras Anjilin, selain bertindak sebagai penata tari --bersama Untung Pribadi, pemimpin Sanggar Bangun Budaya Desa Sumber-- juga menjadi dalang dalam pementasan yang telah kental dalam nuansa kesenian tradisional Jawa seperti wayang orang, geguritan, tembang jawa, dan beberapa tarian rakyat setempat.

Masyarakat setempat, termasuk para pecinta seni, tamu undangan, dan mereka yang datang dari mancanegara memadati pendopo padepokan yang didirikan pada 1937 hingga berakhir pementasan pada Senin (11/3), sekitar setengah jam sebelum malam itu menyentuh pukul 24.00 WIB.

Sitras Anjilin memulai pementasan itu dengan ungkapan "goro-goro", dengan kalimat-kalimat sastra Jawa yang isinya tentang asal muasal penceritaan lakon "A Midsummer Night's Dream" dalam versi lokal Merapi.

"'Bumi wus emoh mangan banyu, nanging langit nyiram bumi nganti banjir dadi goro-goro, jaman kalabendu. Jaman kuwalik, ana bocah nutuh wong tuwo, ana wong tuwa takon bocah, akeh guru ider ngelmu, akeh wong duraka kudhung agama. Jroning goro-goro negara ora tentrem, para pimpinan negara wis ilang rasa welas asih sahingga pada tumindak murang tata, gawe rugi bangsa, korupsi dadi budaya, manungsa wis ora bisa bangga'," demikian ucapan Sang Dalang itu.

Kira-kira maksud kalimat itu antara lain, "Bumi menolak air, tapi hujan terus menerus turun hingga terjadi bencana banjir. Zaman sudah terbalik, ada anak berani kepada orang tua, orang tua bertanya kepada anak, banyak guru menjual ilmu, pendosa berkerudung agama. Negara tidak tenteram karena para pemimpin mementingkan diri dan melanggar aturan, membuat penderitaan bangsa, korupsi menjadi budaya. Manusia sudah tidak patuh".

Salah satu karya terkenal Shakespeare yang telah dipentaskan di seluruh dunia itu, antara lain menceritakan tentang sekitar pernikahan Raja Athena, Theseus (Herlambang Sulistianto) dengan Ratu Amazon, Hipolyta (Gallant).

Adegan awal juga ditandai dengan kisah perjodohan antara Hermia (Sukma Ayu Sadewi) dengan Demetrius (Rahman Rifqi Fauzi). Perjodohan yang diprakarsai ayah Hermia, Edjeus (Melco Sofik Lawa Leonard) itu ditolak sang putri itu karena dia ingin menikah dengan pria lain, Lysander (Muhson Isroni).

Babak lainnya dalam pementasan dengan penata musik Bambang Tri Santoso (Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor"), pelatih peran Nicolas Gonzales (Prancis), penabuh gamelan dan paduan suara para siswa SMA Negeri I Dukun itu, antara lain juga bercerita tentang tokoh dari dunia raksasa, Oberon (Ibnu Sadewo) dengan Titania (Nofian Rizka Rahmawati).

Iringan musik tradisional seperti gamelan dan musik Barat seperti orkestra, dialog antarpemain, performa seni, dan tarian tradisional, antara lain topeng ireng, kuda lumping, angguk rame, dayak grasak, dan reog, mewarnai pementasan di kawasan berudara sejuk di tepian alur Kali Senowo yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi, malam itu.

Lakon Sulit
Kati yang pengajar seni, kosmologi, dan ritus Asia Tenggara serta budaya Jawa di Institut National des Langues et Civilisations Orientales (Inalco) Prancis mengakui bahwa lakon tersebut memang cukup rumit.

"Lakon dari Shakespeare itu antara lain mengenai kenyataan, godaan, mimpi, teater, ilusi dan sebagainya yang sangat-sangat rumit. Maka kalau sebelumnya tidak mengerti, itu normal. Rumit ceritanya karena paralel," katanya.

Akan tetapi, kata Kati yang sejak awal Februari hingga pertengahan Maret 2013 tinggal di kawasan Merapi, Desa Sumber tersebut, lakon itu sarat akan kesamaan nilai antara Barat dengan Timur yang tidak sebegitu jauh pada zaman dahulu.

Lakon tersebut memang mengaitkan antara alam semesta dengan alam manusia, tentang bagaimana manusia di alam, sedangkan secara filosifis menyangkut alam pancaindera, konsep, kebatinan, dan dunia material.

"Ada tokoh-tokoh dari dunia niskala, ada bidadari dan buta datang dari India, ada pemuda bulan, yang dulu dikenal di sini (Merapi, red.) juga mungkin. Mengenai yang maya dan apa yang nyata, godaan, asmara, remaja yang kena asmara, cinta palsu, mitos, ego. Ada juga tokoh dengan situasi remaja di masyarakat tradisional dengan orang tua yang mau menikahkan mereka dan mereka tidak setuju," katanya.

Meskipun "A Midsummer Night's Dream" datang dari Barat, Kati yang juga anggota lepas Centre National de la Recherche Scientifique (CNRS) Prancis untuk tim besar Asia Tenggara dan tim kecil tentang etnopuisi itu, menyadari bahwa pementasan lakon tersebut oleh anak Merapi dimungkinkan menjadi bermakna melalui pendekatan tradisi setempat yang juga menjadi kebanggaan personalnya.

Sitras mengemukakan bahwa Kati sebagai sutradara teater itu melihat adanya kesamaan antara nilai-nilai kehidupan Barat dengan Timur, khususnya pada masa lampau.

"Kalau sekarang ada beda antara Barat dengan Timur, karena perkembangan budaya, akal manusia. Kati mengusahakan teater Shakespeare ini dipadu dengan kesenian Jawa di Merapi. Kesenian rakyat Jawa mendukung pementasan cerita ini," katanya.

Ketidaksempurnaan anak-anak Merapi dalam mementaskan drama "A Midsummer Night's Dream" yang telah dibesut menjadi teater "Impen Sewengi ing Merapi" tersebut cukup kentara terlihat hampir di berbagai adegan, antara lain menyakut dialog, gerak tarian, maupun tata lampu.

Sebagian besar pementas "A Midsummer Night's Dream" yang ditulis Shakespeare pada 1590-1596 itu adalah para siswa SMA Negeri I Dukun, tempat dimana Sitras Anjilin dan Bambang Tri Santoso mengampu pelajaran ekstrakurikuler tari dan karawitan.

"Pementasan ini memang bukan hasil yang sudah matang karena prosesnya singkat, apalagi mereka anak-anak sekolah, kalau kurang menarik tentu karena kurang pengalaman. Tentu beda kalau pementasan oleh seniman profesional. Semoga bisa dimengerti," kata Sitras yang juga salah satu pemimpin seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, Menoreh) itu.

Ikhwal yang nampak lebih penting, adalah anak-anak setempat mendapat pengalaman berproses kesenian melalui karya besar sastrawan Barat yang sarat nilai, makna, dan filosofis tersebut, namun mereka suguhkan dalam olahan nuansa kearifan lokal gunungnya.

Kalau anak-anak Merapi menyentuh William Shakespeare melalui karyanya "A Midsummer Night's Dream" dan kemudian malam itu dijadikan sebagai pementasan "Impen Sewengi ing Merapi", boleh jadi mereka sedang membuktikan penguatan jaring-jaring filter kebudayaan.


Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024