Yappika: Bantuan Asing untuk Spionase Sudah Dicegah
Jumat, 20 September 2013 11:37 WIB
"Kita tidak kekurangan instrumen hukum, misalnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai solusi kekhawatiran dana asing untuk kegiatan spionase negara asing," katanya ketika dihubungi dari Semarang, Jumat.
Iko, sapaan akrab Fransisca Fitri, mengemukakan hal itu ketika menjawab seputar keterbukaan dalam penggunaan anggaran yang bersumber dari APBD, APBN, atau orang (lembaga) asing guna menghindari tuduhan organisasi kemasyarakatan sebagai spion (mata-mata) negara asing, menjadi kaki tangan pemerintah, atau sekelompok orang.
Soal transparansi dan akuntabilitas, menurut dia, hal itu sudah diatur di dalam Pasal 7 UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan UU No. 16/2001 tentang Yayasan dan UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Namun, diakui Iko bahwa keberadaan dana atau bantuan asing bagi sebuah organisasi masyarakat sipil sering kali menimbulkan persepsi negatif.
Ada semacam tuduhan bahwa jika suatu organisasi menerima bantuan asing, organisasi tersebut menjalankan agenda atau memajukan kepentingan pihak asing.
Ada pula, lanjut dia, yang mengkhawatirkan bahwa dana asing merupakan sarana untuk mengintervensi dinamika kehidupan sosial politik dalam negeri.
Bantuan asing dipandang sebagai instrumen politik luar negeri suatu negara, khususnya untuk memajukan kepentingan ekonomi-politik negara bersangkutan.
"Dengan argumen 'self-interest', tindakan agen sosial--dalam hal ini negara--selalu didasarkan pada perhitungan untung rugi, hal ini bisa jadi benar adanya," kata Iko.
Namun, menurut dia, yang sering terlewat adalah argumentasi etis yang mendasari bantuan luar negeri tersebut bahwa negara maju tidak boleh mendiamkan kemiskinan, kelaparan, ketidakadilan sosial di negara-negara berkembang, dilanda konflik, tertimpa bencana, dan pascaperang.
Selain itu, kata dia, negara-negara maju terikat dengan Monterey Consensus yang mewajibkan mereka mengalokasikan dana sebasar 0,7 persen gross domestic product (GDP) atau produk domestik bruto (PDB) untuk bantuan luar negeri.
"Telah jamak dipraktikkan bahwa pengucuran dana bantuan internasional mengikuti apa yang dikenal dengan kerangka kerja strategis," ujarnya.
Kerangka kerja tersebut, menurut dia, pada dasarnya menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan tertentu, harus disusun rencana strategis yang dibangun berdasarkan analisis kekuatan dan kelemahan yang mereka miliki dan tantangan dan kesempatan yang tersedia dalam lingkungan eksternal (negara/daerah tempat dilaksanakannya rencana).
Dalam praktiknya, menurut dia, penyusunan rencana strategis lembaga donor tidak hanya didasarkan pada "assessment" dan konsultasi dengan para pihak. Namun, juga melibatkan para pihak yang potensial menerima atau menindaklanjutinya.
Lebih jauh, kerja sama antara donor dan "recipient" (penerima) tidak didasarkan pada pesanan pekerjaan (job order) dari donor, tetapi pada kesamaan agenda strategis antara donor dan "recipients".
Pada kondisi yang pertama, agenda datang dari pemberi pekerjaan (job offerer), sementara yang kedua, agenda datang dari recipient dan diterima karena sesuai dengan agenda strategis mereka (donor).
"Jadi, bisa kita lihat bahwa bantuan luar negeri sebenarnya bukan alat penaklukan politik domestik oleh kekuatan asing, tetapi lebih sebagai instrumen pelaksanaan keadilan distributif secara global dan sarana pencapaian tujuan keadilan sosial secara domestik," papar Iko.
Keberadaan dana Official Development Assistance (ODA) yang masuk ke Indonesia pun, kata dia, telah melalui persetujuan Kementerian Luar Negeri.
"Dengan demikian, dapat disimpulkan ODA telah melewati tahapan uji bahaya (harm test) terhadap kepentingan bangsa," kata Iko yang juga Koordinator Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB).
Pewarta : Kliwon
Editor:
D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2025