Doa dan Harapan Para Penjaga Pantai Widarapayung
Kamis, 29 Mei 2014 18:11 WIB
Beberapa di antaranya tampak membawa papan selancar yang akan mereka gunakan untuk memberi pertolongan jika ada wisatawan yang mengalami kecelakaan di pantai.
Pemandangan tersebut sekilas mirip dengan cerita dalam film "Baywatch" yang pernah ditayangkan oleh salah satu televisi swasta beberapa tahun lalu. Sebuah film yang menggambarkan aktivitas penjaga pantai dalam menjaga wisatawan yang berkunjung ke pantai.
Hanya saja dalam film "Baywatch", para penjaga pantainya dilengkapi dengan berbagai peralatan modern, sedangkan penjaga pantai Widarapayung hanya mengandalkan papan selancar.
"Widarapayung mungkin satu-satunya pantai di Jawa Tengah yang memiliki 'lifeguard' (penjaga pantai) maupun yang dikembangkan untuk kegiatan berselancar (surfing)," kata Koordinator Widara Payung Surfing Club (WPSC), Ikbalul Murid.
WPSC merupakan cikal bakal dari Badan Penyelamat Wisata Tirta (Balawista) atau penjaga pantai di Pantai Indah Widarapayung.
Akan tetapi, kata dia, keberadaan para penjaga pantai di Pantai Indah Widarapayung hingga saat ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah.
Padahal, keberadaan mereka sangat dibutuhkan demi keamanan, kenyamanan, dan keselamatan wisatawan yang berkunjung di Pantai Indah Widarapayung.
Dalam hal ini, anggota Balawista Widarapayung yang berjumlah 15 orang hanya mengandalkan ide kreatif guna mencari dana untuk kesejahteraan mereka.
"Dulu, kami memunguti sampah agar saat wisatawan datang, pantai terlihat bersih. Sebagai imbalannya, kami mendapat makanan dan minuman dari pedagang yang berjualan di sini," kata Ikbal, panggilan akrab Ikbalul Murid.
Selanjutnya, kata dia, para penjaga pantai menyewakan bangku maupun papan selancar kepada para wisatawan.
Akan tetapi, lanjut dia, usaha tersebut justru ditiru oleh masyarakat sekitar Pantai Widarapayung sehingga semakin banyak yang membuka persewaan bangku.
"Sebenarnya hasilnya lumayan, bisa untuk kesejahteraan para penjaga pantai, tapi sekarang banyak yang buka usaha sewa bangku," katanya.
Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa pihaknya pernah mendapat saran dari Ketua Balawista Pusat untuk membuat kotak amal guna mencari sumbangan dari wisatawan seperti yang dilakukan para penjaga pantai di Bali maupun Australia.
"Kami sebenarnya sudah kotak amal, namun baru beberapa kali diedarkan karena kami khawatir ada pandangan negatif dari wisatawan. Padahal, cara seperti ini banyak dilakukan oleh para penjaga pantai di Australia," katanya.
Sementara dari sisi peralatan, kata dia, pihaknya mendapat bantuan papan selancar dari sejumlah donatur maupun membeli sendiri meskipun hanya barang bekas.
Demikian pula dengan gardu pandang di tepi pantai dibuat secara swadaya oleh anggota Balawista Widarapayung.
Terkait sejarah kehadiran penjaga pantai di Widarapayung, Ikbal mengatakan bahwa hal itu berawal dari sebuah kejadian wisatawan yang tenggelam pada tahun 1999.
"Saat itu, saya berpikir kenapa orang bule bisa 'surfing' ke tengah pantai untuk menolong korban tenggelam. Saya akhirnya belajar dengan menggunakan ban dalam bekas mobil yang diikatkan di badan," katanya.
Setelah mencoba menggunakan ban dalam bekas, dia khawatir pelampung sederhana tersebut akan bocor jika terkena sampah yang ada di pantai, sehingga dia mencoba menggunakan jeriken ukuran besar.
Akan tetapi, kekhawatiran kembali muncul karena tutup jeriken bisa lepas akibat terkena gesekan arus pantai, sehingga dapat membahayakan keselamatan penolong maupun yang ditolong.
Oleh karena itu, dia bertekad untuk belajar selancar atau "surfing" di Bali agar bisa memanfaatkan keterampilan tersebut untuk menolong korban tenggelam di pantai.
"Pada tahun 1999 itu pula, saya pergi ke Bali untuk belajar 'surfing'. Saya berangkat dengan uang saku dari kantong sendiri sebanyak Rp500 ribu dan rencananya akan digunakan untuk membeli papan selancar," katanya.
Akan tetapi, kata dia, harga papan selancar saat itu mencapai Rp6 juta per unit.
"Saya disarankan untuk membeli dari rongsokan dan kemudian dirangkai sendiri. Saran itu saya ikuti, sehingga saya akhirnya punya papan selancar," katanya.
Setelah kembali dari Bali, dia mengaku mendapat informasi jika di Pantai Pangandaran, Jawa Barat, ada latihan selancar.
Dia pun segera berangkat ke Pangandaran untuk mengikuti latihan selancar itu. Di sana, dia juga berkenalan dengan penjaga pantai dan saling bertukar pikiran.
Berawal dari perkenalan itulah, Ikbal akhirnya menekuni aktivitas sebagai penjaga pantai di Pantai Widarapayung.
"Pada tahun 1999-2007, saya sendirian sebagai penjaga pantai di Widarapayung hingga akhirnya mendapat teman sebanyak tiga orang pada tahun 2007. Sejak tahun 2008, peminat 'surfing' semakin banyak dan anggota WPSC pun bertambah delapan orang," katanya.
Selanjutnya, kata dia, WPSC pada tahun 2009 mendapat tawaran dari seorang warga Cilacap yang bermukim di Bali untuk mengikuti latihan selancar.
Menurut dia, warga Cilacap yang membuka usaha persewaan papan selancar itu siap menanggung biaya latihan berikut akomodasinya.
"Kami pun mengirimkan empat orang untuk mengikuti pelatihan tersebut. Setelah mendapat ilmu, kami pulang dan menyelenggarakan kontes 'surfing' di Widarapayung guna memromosikan potensi yang ada," katanya.
Menurut dia, WPSC kembali mendapat tawaran untuk mengikuti pelatihan selancar di Pangandaran pada tahun 2012.
Oleh karena itu, kata dia, WPSC mengirimkan tujuh orang ke Pangandaran guna mengikuti pelatihan, sehingga ilmu yang dimiliki akan semakin bertambah.
"Yang jelas, dari 15 penjaga pantai anggota WPSC, tujuh orang di antaranya telah bersertifikat internasional," katanya.
Terkait keberadaan penjaga pantai, Ikbal mengharapkan adanya perhatian dari pemerintah karena tugas penjaga pantai tidak hanya mengevakuasi korban tenggelam tetapi juga mengantisipasi agar tidak ada kejadian itu.
Dalam hal ini, penjaga pantai selalu memberi imbauan agar wisatawan tidak berenang terlalu ke tengah.
Ketika mengetahui ada wisatawan yang mengalami musibah saat berenang, penjaga pantai akan segera memberi pertolongan.
"Kalau SAR kan hanya pada proses evakuasi terhadap korban," katanya.
Kendati kesejahteraannya masih sangat minim, Ikbal mengaku akan tetap menggeluti aktivitas sebagai penjaga pantai dengan penuh keikhlasan sebagai bagian dari tugas kemanusiaan.
Sementara itu, salah seorang penjaga pantai Widarapayung, Khusnul Khitam (22) mengaku bergabung dengan WPSC sejak tahun 2007.
"Saat itu, ada dua wisatawan yang tenggelam dan saya berusaha menolong mereka dengan pelampung seadanya. Akan tetapi dua orang itu justru merapat ke saya semua, sehingga saya kesulitan untuk memberi pertolongan," katanya.
Oleh karena itu, dia pun memutuskan untuk bergabung dengan WPSC dan mempelajari ilmu berselancar maupun pertolongan terhadap korban tenggelam.
Kendati demikian, dia mengaku sempat tergoda untuk bekerja di Malaysia karena kesejahteraan sebagai penjaga pantai sangat minim.
Akan tetapi setelah dua tahun bekerja di Malaysia, dia merasa tidak betah hingga akhirnya pulang ke Widarapayung dan kembali menekuni profesi sebagai penjaga pantai hingga sekarang.
Hal yang sama juga diakui Agus Riyanto (26) yang bergabung dengan WPSC sejak tahun 2007 dan sempat merantau ke Jakarta selama satu tahun karena ingin mencari penghasilan yang baik dengan bekerja di sebuah toko.
"Saya bekerja di Jakarta pada tahun 2013 selama setahun. Namun saya tidak betah hingga akhirnya kembali ke Widarapayung dan menekuni profesi sebagai penjaga pantai," katanya.
Dia mengaku senang sebagai penjaga pantai karena bisa menolong sesama meskipun tingkat kesejahteraannya masih rendah.
Pewarta : Sumarwoto
Editor:
Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025