Ruwatan Nusantara Penjelajahan Warga Desa atas Indonesia
Senin, 22 Agustus 2016 19:00 WIB
Sejumlah seniman mengibarkan bendera Merah Putih saat upacara Amukti Palapa Ngruwat Nusantara di halaman SMP Negeri 2 Pakis, Magelang, Senin (22/8). Upacara bendera yang dilakukan oleh sejumlah seniman dengan berpakaian pasukan Kerajaan Majapahit ber
Magelang, Antara Jateng - Kemasan kegiatan seni budaya berwujud Ruwatan Nusantara bagaikan membawa warga desa di kawasan Gunung Merbabu Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, menjelajah satu tonggak sejarah negeri yang kemudian bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Seolah-olah mereka yang warga Desa Petung, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang ingin mengatakan kepada siapa saja agar tidak menganggap sepele upacara bendera seperti yang mereka garap pada Senin (22/8) itu.
Kebetulan momentum upacara tersebut masih terkait dengan "Pitulasan" atau perayaan HUT Ke-71 Kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus 2016.
Meskipun telat, Bupati Magelang Zaenal Arifin pun hadir dengan mengenakan pakaian adat Jawa. Ia tiba di tempat acara budaya di halaman SMP Negeri 2 Pakis, ketika upacara sudah mereka gelar dengan melibatkan ratusan warga setempat, termasuk para siswa sekolah dari seluruh tingkatan di kawasan setempat.
Setelah upacara dengan inspektur Kepala Desa Petung Sudi yang mengenakan pakaian kebesaran raja karena memerankan sebagai Raja Hayam Wuruk (Kerajaan Majapahit) selesai, Sang Bupati baru mendapat kesempatan pidato.
Masyarakat terkesan menyimak dengan baik amanat menggunakan bahasa Jawa yang disampaikan Bupati Zaenal Arifin di podium, dengan para peraga Ruwatan Nusantara berdiri berjajar di belakangnya.
Melalui upacara bendera dalam kemasan seni budaya Jawa dengan komandan Kepala Dusun Petung Agus Priyono itu, seakan memang hendak diceritakan tentang sejarah kejayaan masa lalu, zaman Kerajaan Majapahit, yang kesatuan wilayah di Nusantara menjadi bagian dari sejarah embrio NKRI.
"Patih Gajah Mada bukan saja pahlawan yang mempersatukan Nusantara, namun beliau juga menjadi pahlawan peradaban bangsa. Indonesia saat ini tidak lepas dari usaha Gajah Mada menyatukan Nusantara melalui Sumpah Palapa yang terkenal itu," kata sutradara Ruwatan Nusantara yang juga pegiat Padepokan Warga Budaya Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis di kawasan Gunung Merbabu, Singgih Arif Kusnadi.
Semangat kesatuan dan persatuan Indonesia hendak mereka rawat melalui agenda budaya bernama Ruwatan Nusantara yang juga ditandai dengan kemeriahan pementasan sejumlah kesenian tradisional setempat, antara lain tari Grasak, Topeng Ireng, Kubrosiswo, dan Jatilan.
Sasaran utama Ruwatan Nusantara, katanya, tentunya terutama kalangan generasi muda, supaya mereka mengetahui dengan baik sejarah bangsa dan negaranya, Indonesia.
"Indonesia sekarang ada, tidak lepas dari Nusantara yang disatukan oleh tekad dan usaha Gajah Mada. Generasi sekarang pun hendaknya terus berjuang untuk mewujudkan Nusantara sekarang, Indonesia sekarang menjadi 'gemah ripah loh jinawi' (makmur dan sejahtera, red.)," ujarnya.
Dalam prosesi upacara Ruwatan Nusantara itu, seorang seniman petani, anggota Padepokan Lumaras Budaya Desa Petung, Hariyadi berpakaian serba warna putih hadir memerankan diri sebagai Empu Tantular. Ia memimpin ruwatan.
Empu Tantular yang hidup pada abad ke-14 adalah pujangga Kerajaan Majapahit ketika dipimpin Hayam Wuruk. Ia melahirkan kakawin Arjunawiwaha dan Sutasoma yang terkenal itu. Salah satu bait penting dari sastra Jawa, Sutasoma, yakni "Bhinneka Tunggal Ika" kini menjadi semboyan pluralisme Indonesia, "Berbeda-beda tetapi satu".
Sang Empu yang diiring dua perempuan pembawa tumpeng warna merah dan putih, serta pembawa umbul-umbul warna merah putih memasuki arena ruwatan. Sebelumnya, Raja Hayam Wuruk dengan menggunakan tandu diusung empat orang dan sejumlah lainnya yang berpakaian keprajuritan, melewati barisan warga dan para siswa, hingga berdiri tampak gagah di podium upacara.
Suasana terasa khidmat dengan tabuhan musik gamelan mengiringi prosesi itu. Empu Tantular meletakkan tumpeng dan bunga mawar di bawah tiang bendera, lalu membakar dupa sebagai tanda Ruwatan Nusantara dimulai.
Tembang Jawa langgam Pangkur dilantunkan sebagai tanda mulai ruwatan yang dipimpinnya.
"'Niat ingsun amiwiti. Manyebut maknaning sukma. Kang murah ing donya mangkil. Ingkang welas ing akherat. Pinuji tan kena pegat. Angganjar awelas ayu. Ngapura wong ingkang dosa,'" begitu tembang tersebut.
Kira-kira terjemahannya, "Kami berniat memulai, merefleksikan dalam hati tentang kemurahan Tuhan. Tuhan Maha Belas Kasih dan selalu terpuji tiada henti. Tuhan selalu memberikan ganjaran, memberikan pengampuan atas dosa manusia".
Barisan prajurit lainnya yang masing-masing membawa tameng dan gada mengiring Gajah Mada (Timbul Prayitno) memasuki arena ruwatan. Ia tampak melakukan adegan menyembah sebagai tanda hormat kepada Hayam Wuruk.
Setelah Sang Raja menetapkannya sebagai Patih Keraajaan Majapahit, Gajah Mada pun kemudian mengucapkan tekadnya yang terkenal itu, "Sumpah Palapa".
"'Lamun ingsung wis nyawijekke Nuswantoro. Ingsun bakal amukti Palapa. Lamun iso nelukake Ring Gurun, Ring Seram, Tanjung Pura, Ring Haru, Ring Pahang, Dompu, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasek. Ingsun Sumpah Palapa. Nuswantoro adil wicaksana, Nuswantoro wibawa ing donya. Merdeka, merdeka, merdeka!'," begitu kalimat yang diucapkan Sang Patih itu.
Maksud kalimat itu, kurang lebih dirinya tidak akan melepaskan diri dari jalan berpuasa sebelum menyatukan berbagai wilayah menjadi satu kesatuan Nusantara secara adil, bijaksana, dan berwibawa.
Sejarah mencatat bahwa Sumpah Palapa diucapkan Gajah Mada saat upacara pengangkatannya sebagai Patih Majapahit pada 1336, sedangkan teks sumpah itu ditemukan dalam Serat Pararaton atau Kitab Raja-Raja mulai Kerajaan Singasari hingga Majapahit, yang meliputi 32 halaman dengan total 1.126 baris.
Pengibaran bendera Merah Putih terkesan menjadi warna penting dalam rangkaian prosesi Ruwatan Nusantara. Pengibaran dilakukan dua pemuda dan seorang pemudi yang masing-masing mengenakan pakaian keprajuritan Jawa. Mereka juga diiringi barisan keprajuritan yang masing-masing membawa umbul-umbul warna merah dan putih.
Lagu kebangsaan "Indonesia Raya" berkumandang saat bendera Merah Putih dikibarkan, sedangkan setiap orang yang mengikuti upacara selama sekitar satu jam itu, berdiri tegak, memberikan penghormatan dengan khidmat.
"Dengan disaksikan Bapak Angkasa dan Ibu Pertiwi, semua warga, dan para tamu terhormat yang hadir di Desa Petung ini, kita mengenang para pahlawan yang telah mengibarkan Merah Putih menjadi lambang persatuan dan kesatuan Nusantara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kita mewujudkan Nusantara sebagai negara yang terhormat dan berwibawa. Jayalah negeri, Nusantara, Indonesia!," demikian pidato yang aslinya berbahasa Jawa disampaikan Kades Sudi yang berperan sebagai Raja Hayam Wuruk dalam upacara tersebut.
Upacara bendera yang diberi nama Ruwatan Nusantara, terasa kental membawa semua kalangan masyarakat desa di kawasan Gunung Merbabu itu, mengikuti pelajaran tentang penjelajahan atas tonggak sejarah penting bangsa dan negara ini.
Seolah-olah mereka yang warga Desa Petung, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang ingin mengatakan kepada siapa saja agar tidak menganggap sepele upacara bendera seperti yang mereka garap pada Senin (22/8) itu.
Kebetulan momentum upacara tersebut masih terkait dengan "Pitulasan" atau perayaan HUT Ke-71 Kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus 2016.
Meskipun telat, Bupati Magelang Zaenal Arifin pun hadir dengan mengenakan pakaian adat Jawa. Ia tiba di tempat acara budaya di halaman SMP Negeri 2 Pakis, ketika upacara sudah mereka gelar dengan melibatkan ratusan warga setempat, termasuk para siswa sekolah dari seluruh tingkatan di kawasan setempat.
Setelah upacara dengan inspektur Kepala Desa Petung Sudi yang mengenakan pakaian kebesaran raja karena memerankan sebagai Raja Hayam Wuruk (Kerajaan Majapahit) selesai, Sang Bupati baru mendapat kesempatan pidato.
Masyarakat terkesan menyimak dengan baik amanat menggunakan bahasa Jawa yang disampaikan Bupati Zaenal Arifin di podium, dengan para peraga Ruwatan Nusantara berdiri berjajar di belakangnya.
Melalui upacara bendera dalam kemasan seni budaya Jawa dengan komandan Kepala Dusun Petung Agus Priyono itu, seakan memang hendak diceritakan tentang sejarah kejayaan masa lalu, zaman Kerajaan Majapahit, yang kesatuan wilayah di Nusantara menjadi bagian dari sejarah embrio NKRI.
"Patih Gajah Mada bukan saja pahlawan yang mempersatukan Nusantara, namun beliau juga menjadi pahlawan peradaban bangsa. Indonesia saat ini tidak lepas dari usaha Gajah Mada menyatukan Nusantara melalui Sumpah Palapa yang terkenal itu," kata sutradara Ruwatan Nusantara yang juga pegiat Padepokan Warga Budaya Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis di kawasan Gunung Merbabu, Singgih Arif Kusnadi.
Semangat kesatuan dan persatuan Indonesia hendak mereka rawat melalui agenda budaya bernama Ruwatan Nusantara yang juga ditandai dengan kemeriahan pementasan sejumlah kesenian tradisional setempat, antara lain tari Grasak, Topeng Ireng, Kubrosiswo, dan Jatilan.
Sasaran utama Ruwatan Nusantara, katanya, tentunya terutama kalangan generasi muda, supaya mereka mengetahui dengan baik sejarah bangsa dan negaranya, Indonesia.
"Indonesia sekarang ada, tidak lepas dari Nusantara yang disatukan oleh tekad dan usaha Gajah Mada. Generasi sekarang pun hendaknya terus berjuang untuk mewujudkan Nusantara sekarang, Indonesia sekarang menjadi 'gemah ripah loh jinawi' (makmur dan sejahtera, red.)," ujarnya.
Dalam prosesi upacara Ruwatan Nusantara itu, seorang seniman petani, anggota Padepokan Lumaras Budaya Desa Petung, Hariyadi berpakaian serba warna putih hadir memerankan diri sebagai Empu Tantular. Ia memimpin ruwatan.
Empu Tantular yang hidup pada abad ke-14 adalah pujangga Kerajaan Majapahit ketika dipimpin Hayam Wuruk. Ia melahirkan kakawin Arjunawiwaha dan Sutasoma yang terkenal itu. Salah satu bait penting dari sastra Jawa, Sutasoma, yakni "Bhinneka Tunggal Ika" kini menjadi semboyan pluralisme Indonesia, "Berbeda-beda tetapi satu".
Sang Empu yang diiring dua perempuan pembawa tumpeng warna merah dan putih, serta pembawa umbul-umbul warna merah putih memasuki arena ruwatan. Sebelumnya, Raja Hayam Wuruk dengan menggunakan tandu diusung empat orang dan sejumlah lainnya yang berpakaian keprajuritan, melewati barisan warga dan para siswa, hingga berdiri tampak gagah di podium upacara.
Suasana terasa khidmat dengan tabuhan musik gamelan mengiringi prosesi itu. Empu Tantular meletakkan tumpeng dan bunga mawar di bawah tiang bendera, lalu membakar dupa sebagai tanda Ruwatan Nusantara dimulai.
Tembang Jawa langgam Pangkur dilantunkan sebagai tanda mulai ruwatan yang dipimpinnya.
"'Niat ingsun amiwiti. Manyebut maknaning sukma. Kang murah ing donya mangkil. Ingkang welas ing akherat. Pinuji tan kena pegat. Angganjar awelas ayu. Ngapura wong ingkang dosa,'" begitu tembang tersebut.
Kira-kira terjemahannya, "Kami berniat memulai, merefleksikan dalam hati tentang kemurahan Tuhan. Tuhan Maha Belas Kasih dan selalu terpuji tiada henti. Tuhan selalu memberikan ganjaran, memberikan pengampuan atas dosa manusia".
Barisan prajurit lainnya yang masing-masing membawa tameng dan gada mengiring Gajah Mada (Timbul Prayitno) memasuki arena ruwatan. Ia tampak melakukan adegan menyembah sebagai tanda hormat kepada Hayam Wuruk.
Setelah Sang Raja menetapkannya sebagai Patih Keraajaan Majapahit, Gajah Mada pun kemudian mengucapkan tekadnya yang terkenal itu, "Sumpah Palapa".
"'Lamun ingsung wis nyawijekke Nuswantoro. Ingsun bakal amukti Palapa. Lamun iso nelukake Ring Gurun, Ring Seram, Tanjung Pura, Ring Haru, Ring Pahang, Dompu, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasek. Ingsun Sumpah Palapa. Nuswantoro adil wicaksana, Nuswantoro wibawa ing donya. Merdeka, merdeka, merdeka!'," begitu kalimat yang diucapkan Sang Patih itu.
Maksud kalimat itu, kurang lebih dirinya tidak akan melepaskan diri dari jalan berpuasa sebelum menyatukan berbagai wilayah menjadi satu kesatuan Nusantara secara adil, bijaksana, dan berwibawa.
Sejarah mencatat bahwa Sumpah Palapa diucapkan Gajah Mada saat upacara pengangkatannya sebagai Patih Majapahit pada 1336, sedangkan teks sumpah itu ditemukan dalam Serat Pararaton atau Kitab Raja-Raja mulai Kerajaan Singasari hingga Majapahit, yang meliputi 32 halaman dengan total 1.126 baris.
Pengibaran bendera Merah Putih terkesan menjadi warna penting dalam rangkaian prosesi Ruwatan Nusantara. Pengibaran dilakukan dua pemuda dan seorang pemudi yang masing-masing mengenakan pakaian keprajuritan Jawa. Mereka juga diiringi barisan keprajuritan yang masing-masing membawa umbul-umbul warna merah dan putih.
Lagu kebangsaan "Indonesia Raya" berkumandang saat bendera Merah Putih dikibarkan, sedangkan setiap orang yang mengikuti upacara selama sekitar satu jam itu, berdiri tegak, memberikan penghormatan dengan khidmat.
"Dengan disaksikan Bapak Angkasa dan Ibu Pertiwi, semua warga, dan para tamu terhormat yang hadir di Desa Petung ini, kita mengenang para pahlawan yang telah mengibarkan Merah Putih menjadi lambang persatuan dan kesatuan Nusantara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kita mewujudkan Nusantara sebagai negara yang terhormat dan berwibawa. Jayalah negeri, Nusantara, Indonesia!," demikian pidato yang aslinya berbahasa Jawa disampaikan Kades Sudi yang berperan sebagai Raja Hayam Wuruk dalam upacara tersebut.
Upacara bendera yang diberi nama Ruwatan Nusantara, terasa kental membawa semua kalangan masyarakat desa di kawasan Gunung Merbabu itu, mengikuti pelajaran tentang penjelajahan atas tonggak sejarah penting bangsa dan negara ini.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Akademisi Unsoed: Kampung Cibun siap menjadi ikon Kampung Cinta Budaya Nusantara Banyumas
29 October 2024 17:41 WIB
Terpopuler - Spektrum
Lihat Juga
Chamdawati, kisah pejuang sampah dari Kudus yang gigih sadarkan masyarakat
29 November 2024 10:20 WIB
FODOR's No List 2025 dan tantangan mewujudkan pariwisata berkualitas di Indonesia
23 November 2024 23:32 WIB