Magelang, Antara Jateng - Sabtu, 15 Oktober 2016, pukul 24.00 WIB, bulan dengan cahaya tampak bulat penuh seakan tertahan persis di atas bubung pendapa Padepokan Tjipto Boedojo sekitar tujuh kilometer barat daya puncak Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Dalang utama Sitras Anjilin yang juga pemimpin padepokan seni, tradisi, dan budaya yang didirikan pada 1937 itu, menggantikan posisi dalang sebelumnya, Suwonto, dalam pentas wayang orang sakral dengan lakon "Lumbung Tugu Mas".

Dingin pada puncak tengah malam di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, saat mereka menyelenggarakan tradisi tahunan "Suran Tutup Ngisor" tak seberapa menusuk. Keluarga padepokan dan masyarakat terutama dari sejumlah desa di kawasan Gunung Merapi itu masih bertahan di dalam pendapa.

Saat itulah, menjadi puncak ritual doa secara kejawen yang takzim, dalam peringatan tahun baru berdasarkan kalender Jawa, Sura. Keluarga padepokan memperingati tahun baru Jawa, setiap pertengahan Sura, persis saat purnama memayungi langit Gunung Merapi.

Dari halaman padepokan, langit malam itu kebetulan nampak bersih sehingga cahaya bulan terlihat terang, tanpa tertutup awan. Camat Dukun Sukamtono dan Kepala Desa Sumber Maryono hadir pada puncak "Suran Tutup Ngisor". Dusun setempat berjarak sekitar 20 kilometer dari Muntilan, kota kecamatan terbesar di Kabupaten Magelang.

Camat Sukamtono mengemukakan tentang pentingnya pelestarian tradisi "Suran Tutup Ngisor", terutama karena menjadi sarana yang positif dalam memperkuat semangat kekeluargaan masyarakat setempat.

"Kerukunan masyarakat melalui seni budaya, pemerintah mendukung karena tradisi ini menjadi alat pemersatu masyarakat, termasuk seperti di Dusun Tutup Ngisor ini," katanya.

Tradisi "Suran Tutup Ngisor" pada tahun ini mengulukkan tema "Sluman Slumun Slamet", ungkapan populer dalam masyarakat Jawa yang intinya kira-kira tentang siasat arif dan bijaksana masyarakat Jawa dalam meraih keselamatan dan kelancaran jalan hidup di tengah berbagai tantangan dan persoalan.

Pementasan wayang orang dengan lakon "Lumbung Tugu Mas" sebagai suguhan puncak tradisi yang sesungguhnya berupa doa bersama oleh masyarakat setempat. Sebelumnya keluarga padepokan yang para seniman petani laki-laki menyajikan tembang panembrama dan para remaja putri menyuguhkan tarian sakral "Kembar Mayang".

Lakon wayang yang karya warisan pendiri padepokan itu, Romo Yososudarmo (1885-1990), bercerita tentang segala upaya, baik secara badani maupun rohani, dengan berbagai tantangannya yang harus dihadapi para kesatria keluarga Pandawa, dalam mewujudkan cita-cita luhur tentang apa yang secara simbolik dan jasmani disebut sebagai "Lumbung Tugu Mas".

Dikisahkan oleh Begawan Abiyasa (Teguh) tentang makna "Lumbung Tugu Mas" ketika adegan menerima kehadiran di khayangan, Abimayu (Widyo Sumpeno)dan Gatotkaca (Darmawan). Dua kesatria Pandawa itu berhasil naik ke khayangan dan menghadap Sang Begawan, setelah lepas dari hadangan pasukan buta.

Lumbung yang secara wadak sebagai tempat penyimpanan padi, tugu sebagai bangunan kukuh, dan mas sebagai perhiasan emas, oleh Sang Begawan dibeberkan maknanya secara berturut-turut kepada mereka sebagai tempat menyimpan kekayaan nilai hidup manusia dengan kearifan budayanya, kehendak yang kukuh untuk mencapai keilahian dan kebaikan hidup, serta kepribadian manusia yang bagaikan mustika jagat.

Dalam babak lain pementasan wayang orang, yang berupa pertemuan besar keluarga Pandawa dipimpin Batara Kresna (Martejo) dan Prabu Puntadewa (Hari), Abimanyu dan Gatotkaca melaporkan restu dari Begawan Abiyasa atas kehendak Pandawa membangun "Lumbung Tugu Mas". Ihwal tentang makna "Lumbung Tugu Mas" juga secara serupa dijelaskan ulang oleh Batara Kresna dalam pertemuan itu.

Turut hadir dalam pertemuan di Keraton Amarta itu adalah abdi setia mereka yang para punakawan, yakni Semar (Bambang Tri Santoso), Gareng (Sarwoto), Petruk (Gondo Wardoyo), dan Bagong (Prihatin).

Mantra suluk yang terasa mengunggah tema "Sluman Slumun Slamet", lantang diucapkan Dalang Sitras Anjilin dengan iringan gamelan berupa petikan rebab dan timpukan gender. Sesekali dua penggamel lainnya memainkan dua nada berulang-ulang atas tabuhan saron dan demung. Puncak malam purnama yang telah masuk dini hari makin membawa penonton ke alam hening dan refleksi.

"'Teguh kukoh, kukoh bakoh' (teguh, kukuh, kukuh, kuat, red.)," begitu sepenggalan kalimat diucapkan berulang-ulang oleh Sang Dalang Sitras yang juga pemimpin utama para seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang itu.

Ungkapan simbolis itu tentang pentingnya pribadi manusia yang kuat, selalu menjunjung martabat dan nilai-nilai kebaikan, serta lihai memainkan peran arif dan bijaksana, dalam mengarungi situasi kehidupan bersama yang berkelindan riuh atas berbagai persoalan.

Saat ini, ucapnya kepada Antara sebelum pementasan itu, alam pun seakan memainkan putaran ritme yang tidak normal yang menjadi pertanda bahwa musim sedang mengalami perubahan besar.

Ihwal itu pula, yang mestinya disikapi oleh manusia agar beroleh keselamatan, ketenteraman hidup, dan terbebas dari segala musibah.

"'Sluman slumun slamet', menunjuk kepada tindakan seakan tanpa menghiraukan situasi, tetapi tetap selamat," ujarnya.

Tentang tema "Sluman Slumun Slamet" yang ingin ditebarkan dalam "Suran Tutup Ngisor" tahun ini, dikatakan oleh Sitras sebagai mantra keselamatan.

Mantra keselamatan itu membawa pelintas kehidupan melewati berbagai riuh hubungan antarmanusia pada era kesejagatan, menyikapi tebaran pemanfaatan gencar perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, serta terpaan alam yang ekstrem.

"Karena melihat pertanda alam yang tidak normal, putaran musim yang berubah. Manusia yang tak teratur alam pikirnya, sikap manusia yang tidak lazim," katanya.

Bagi Budayawan Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut, tema "Sluman Slumun Slamet" mengingatkan manusia untuk mengembangkan pribadi yang luwes berlandaskan sikap hati yang bijaksana.

Demi keselamatan bersama, ujarnya, menata pergaulan di tengah riuh hubungan antarmanusia sebagai ihwal yang penting dilakukan secara cermat dan penuh arif bijaksana.

"'Nata sesrawungan' (menata pergaulan, red.), empati terhadap kekurangan yang lain, terutama pada derajat kemanusiaan," katanya.