Purwokerto (ANTARA) - Jurnalisme bukanlah obat, tetapi dia dapat menyembuhkan. Jurnalisme bukanlah hukum, tetapi dia dapat membawa keadilan. Jurnalisme bukanlah militer, tetapi dia dapat membantu menjaga kita aman.

Itulah apa yang diajarkan sejarah kepada kita. Ia juga mengatakan bahwa jurnalisme adalah alat yang paling penting yang kita miliki untuk menjaga agar pemerintah jujur, menjaga agar masyarakat mendapat informasi, dan menjaga agar demokrasi tetap utuh. Inti menulis berita adalah suatu pekerjaan mulia.

Wartawan memang mempunyai tujuan mulia. Paus Johanes Paulus II berkata "Dengan pengaruh yang luas dan langsung terhadap opini masyarakat, jurnalisme tidak bisa dipandu hanya oleh kekuatan ekonomi, keuntungan dan kepentingan khusus. Jurnalisme haruslah diserapi sebagai tugas suci, dijalankan dengan kesadaran bahwa sarana komunikasi yang sangat kuat telah dipercayakan kepada Anda demi kebaikan orang banyak."

Senang rasanya bagi seorang wartawan bila bisa menolong orang yang sedang menghadapi kesulitan dengan menyampaikan berita dan gagasan tentang dunia sekitar mereka, dan memang inilah yang dibutuhkan masyarakat. Untuk meningkatkan kredibilitas, wartawan dianjurkan untuk menghargai khalayaknya dengan menyajikan apa yang diharapkan mereka sebagai berita, menjadikan prioritas utama untuk tidak menyakiti.

Jurnalisme menyentuh hampir setiap kehidupan manusia.

Maka perilaku dan standar moral dalam jurnalisme layak mendapat perhatian yang sama seperti yang berlaku pada hakim, dokter, pebisnis, dan sebagainya. Kebebasan pers adalah sebuah hak, yang seperti semua masalah yang terkait dengan moral, tanpa kecuali juga dibatasi oleh hak-hak lain, di mana pada suatu saat atau titik, mereka akan bersaing.

Baca juga: Wakil Rektor UMP sebut perjuangan pahlawan bukan dengan kata-kata

Pers mempunyai hak untuk mengekspresikan pendapat dan penilaiannya tentang seseorang, tetapi bila pers melanggar hak moral seseorang  untuk tidak difitnah, maka orang tersebut berhak untuk mengesampingkan hak kebebasan berekspresi dari pers tersebut.

Tantangan Jurnalisme pada New Media

Publik barangkali masih ingat berbagai peristiwa penting terkait dengan dinamika media dalam satu dekade terakhir. Jelang Pemilihan Umum 2014, misalnya, kita melihat bagaimana sejumlah media tampil bias dan tidak konsisten. Alih-alih mereka lebih mengedapankan isu-isu penting publik, media justru menunjukkan keberpihakannya kepada calon presiden tertentu. 

Baca juga: Mahasiswa UMP deklarasikan Generasi Bijak Plastik

Orang juga mungkin belum lupa bagaimana dia menyita frekuensi publik dengan menampilkan kehidupan pribadi selebritas yang diekspos berlebihan. Pertanyaan yang muncul kemudian, sebetulnya media mewakili kepentingan siapa?

Pesatnya kemajuan teknologi informasi yang ditandai dengan menjamurnya media daring pun seharusnya tidak mengubah sifat yang harus dimiliki media, yaitu media yang dipercaya publik. Para pelaku media di era digital atau New Media harus sadar akan dampak berita dalam jaringan atau online yang lebih besar dibandingkan media cetak karena kecepatan dan jangkauannya. Tidak boleh asal cepat, akurasi, verifikasi, cover all side, juga konteks peristiwa, tetap punya makna penting bagi khalayak. Media harus tetap menjadi pedoman bagi publik.

Pedoman Mencari dan Menyiapkan Kebenaran

Tumbangnya rezim orde baru pada 1998 dan kemajuan teknologi informasi telah membawa jurnalisme di Tanah Air dewasa ini tampil berbeda. Kini, sedikitnya ada ratusan media cetak dan radio, puluhan stasiun televisi serta kemunculan media baru (New media). 

Meski demikian, kita melihat jurnalisme di era digital bagaikan bola liar yang bergulir tanpa arah yang jelas. Banyaknya media massa yang muncul tidak serta merta diikuti dengan mutu pemberitaan yang baik. Hal itu diperkuat data statistik yang menunjukan dari masyarakat.

Zulkarimein Nasution, dalam bukunya yang bertajuk Etika Jurnalisme: Prinsip-Prinsip Dasar (Rajawali Pers, 2015), mengatakan bahwa pelanggaran yang dilakukan media massa disebabkan ketidakpahaman para jurnalis akan etika jurnalisme. Padahal, etika jurnalisme dianalogikan seperti sebuah kompas di sebuah kapal. Media dan para jurnalis layaknya nakhoda yang membutuhkan navigasi agar tidak tersesat dalam melaksanakan misinya yang mulia: mencari dan menyampaikan kebenaran.

*) Tegar Roli., M.Kom.
Staf Humas Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Bidang Pemberitaan, alumni Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, mantan wartawan Radar Banyumas (Jawa Pos Group) dan reporter Satelit Televisi Nusantara, serta aktif sebagai kontributor pemberitaan dan reporter TVMu.