Cilacap (ANTARA) - Siang itu, Priyatno tampak sibuk mengecek kondisi pompa air tanah di area persawahan Desa Kalijaran, Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

Letaknya memang berada tidak jauh dari jalur rel kereta api Surabaya-Bandung.

Semua itu dilakukan karena sebagai Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) "Margo Sugih" Desa Kalijaran.

Dia dipercaya untuk mengelola rumah pompa air tanah bertenaga surya berteknologi Solar Home System (SHS) rancangan Tim Politeknik Negeri Cilacap (PNC).

Priyatno mengaku senang atas kehadiran teknologi SHS itu karena dapat membantu sebagian petani Desa Kalijaran dalam memenuhi kebutuhan air untuk sawah tadah hujan milik mereka.

Bahkan, keberadaannya juga dinikmati oleh beberapa petani dari desa tetangga karena lokasi sawah mereka dekat dengan rumah pompa air tanah bertenaga surya itu.

Ya, area persawahan di wilayah selatan Desa Kalijaran dan sekitarnya itu tidak terjangkau jaringan irigasi teknis.

Baca juga: Akademisi: EBT potensial untuk mendukung pengembangan pertanian Indonesia

Satu-satunya sungai kecil yang melintasi area persawahan itu pun tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk mengairi sawah saat musim kemarau karena airnya sering kali terintrusi air laut.

Sebelum teknologi ini hadir, petani setempat memanfaatkan mesin pompa air berbahan bakar minyak (BBM) untuk menyedot air sungai untuk mengairi sawah mereka.

Akan tetapi setelah adanya rumah pompa air tanah bertenaga surya itu, petani dapat memangkas biaya produksi yang biasa dikeluarkan untuk membeli BBM.

Bagi petani yang tidak memiliki mesin pompa air berbahan bakar minyak sendiri, mereka tidak hanya mengeluarkan uang untuk membeli BBM, juga biaya sewa mesin senilai Rp20 ribu per jam.
  Seorang bocah berjalan di dekat kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (23/7/2022). ANTARA FOTO/Arnas Padda/wsj 

Pompa surya
Priyatno mencontohkan dalam satu musim tanam, dia harus mengeluarkan uang sebesar Rp500 ribu untuk mengairi sawahnya seluas 2.000 meter persegi.

Namun sejak hadirnya rumah pompa air bertenaga surya itu, dia tidak lagi mengeluarkan biaya pembelian BBM.

Dengan demikian, petani tidak direpotkan dengan berbagai persyaratan agar bisa membeli BBM bersubsidi di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

"Masak mau beli tiga liter Pertalite, kami harus bawa mesin pompa air ke SPBU. Kalau beli Pertamax sih bisa pakai jeriken, tapi harganya kan mahal," kata Ketua Gapoktan "Margo Sugih" itu.

Bahkan, petani anggota gapoktan itu tidak perlu mengeluarkan biaya untuk memanfaatkan kucuran air dari rumah pompa berteknologi SHS itu karena biaya perawatannya sudah ditanggung uang kas kelompok tani.

Baca juga: G20 momentum optimalkan pemanfaatan energi alternatif

Petani dari desa tetangga pun tidak dipungut biaya ketika memanfaatkan air tersebut meskipun kadang mereka memberikan yang seikhlasnya kepada pengelola.

Ke depan, Priyatno berencana memanfaatkan keberadaan rumah pompa air bertenaga surya itu untuk pengembangan hortikultura pada musim kemarau, sehingga petani tidak terpaku pada budi daya padi.

Teknologi SHS

Perancangan teknologi SHS untuk pengairan sawah tadah hujan di Desa Kalijaran itu tidak lepas dari ide dan pemikiran akademisi PNC, Afrizal Abdi Musyafiq, S.Si., M.Eng.

Menurut Afrizal, ide tersebut berawal dari keberadaan sawah tadah hujan di Desa Kalijaran sehingga petani setempat memanfaatkan air sungai dengan menggunakan mesin pompa BBM.

Padahal, kebutuhan BBM mesin tersebut rata-rata mencapai tujuh liter per hari untuk luas sawah sekitar 2.100 meter persegi dan dalam satu musim tanam membutuhkan lebih kurang delapan kali penyiraman.

Terkait dengan hal itu, pihaknya membuat irigasi buatan berupa sumur bor dengan kedalaman sekitar 20-30 meter.

Air dari dalam sumur bor tersebut selanjutnya dinaikkan ke permukaan tanah dengan menggunakan pompa air bertenaga listrik dari panel surya.

Dengan demikian, teknologi SHS yang digunakan untuk rumah pompa air tersebut mandiri energi karena tidak menggunakan jaringan listrik konvensional.

Baca juga: Akademisi: Perlu sinergi regulasi yang harmonis untuk pengembangan EBT

Lebih lanjut, Afrizal yang mengampu mata kuliah Energi Terbarukan serta Sistem Pembangkit Listrik itu mengatakan debit air yang dihasilkan pompa air berteknologi SHS mencapai 20.000 liter per hari.

Selain itu, kapasitas panel surya yang terpasang sebesar 500 watt, sedangkan mesin pompa air tersebut mampu bekerja selama 12 jam per hari.

Rumah pompa air tersebut juga dilengkapi baterai untuk menyimpan energi listrik yang dihasilkan panel surya pada siang hari.

Dengan demikian, pompa air juga dapat digunakan pada malam hari dengan memanfaatkan energi yang tersimpan pada baterai.

Bahkan, teknologi SHS ini dapat bertahan hingga 10 tahun sesuai dengan rata-rata usia baterai dan panel surya.

Rp80 juta
Investasinya hanya Rp80 juta.

"Dalam waktu dekat, kami akan memasang pompa air berteknologi SHS ini di tiga lokasi, yakni Desa Karangrena (Kecamatan Maos), Desa Karangsari (Adipala), dan Kelurahan Kutawaru (Cilacap Tengah)," kata Afrizal.

Keberadaan pompa air tanah bertenaga surya di Desa Kalijaran merupakan bentuk apresiasi Pertamina Foundation kepada Tim PNC.
 
Teknologi SHS merupakan salah satu pemenang kompetisi inovasi teknologi berbasis energi baru terbarukan (EBT) dari Program PFSains 2022.

Kompetisi itu bertujuan untuk mengapresiasi para praktisi energi yang konsisten dalam mengembangkan dan/atau menciptakan inovasi teknologi berbasis energi bersih dan terjangkau oleh semua kalangan.

Area Manager Communication Relations and CSR PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) RU IV Cilacap Cecep Supriyatna mengatakan pembangunan rumah pompa air di Desa Kalijaran merupakan wujud kolaborasi Pertamina Foundation, PT KPI RU IV Cilacap dan PNC untuk membantu petani sawah tadah hujan dalam memenuhi kebutuhan air.

"Teknologi serupa juga akan dipasang di tiga lokasi dalam waktu dekat," katanya.

Baca juga: Dukung EBT, Perusahaan tekstil di Tegal gunakan energi hijau selama 10 tahun

Agaknya, teknologi SHS ini juga bisa menjadi solusi dalam membantu mengatasi kebutuhan air bagi sawah tadah hujan maupun masyarakat di daerah yang belum terjangkau jaringan listrik konvensional.

Tidak hanya itu, penggunaan teknologi SHS itu juga ramah lingkungan karena tidak adanya risiko pencemaran dari tetesan BBM maupun minyak pelumas dari mesin pompa air.

Karena itu, selayaknya teknologi ini bisa diadopsi di seluruh wilayah Indonesia, khususnya untuk petani dengan wilayah garapan minim atau jauh dari saluran irigasi teknis.
 
Baca juga: Peneliti dorong optimalisasi pemanfaatan EBT untuk pertanian
Baca juga: Satu lagi, pelanggan PLN UP3 Semarang gunakan 100 persen EBT
Baca juga: Reforminer Insitutte sebut lingkungan bukan isu utama EBT