Menyiapkan guru yang cakap menjawab tantangan zaman
Senin, 25 November 2024 8:51 WIB
Arsip foto - Seorang murid dari SMK Mipha Parakan Temanggung berperan sebagai guru dan para guru sebagai murid dalam memperingati Hari Guru di Temanggung, Kamis (21/11/2024). ANTARA/Heru Suyitno
Purwokerto (ANTARA) - Guru merupakan profesi yang berkontribusi besar dalam mencerdaskan dan membangun peradaban sebuah bangsa. Negara-negara yang kini menikmati kemajuan peradaban, itu pun buah dari penyelenggaraan pendidikan yang terencana dan berkelanjutan.
Di balik kemajuan peradaban bangsa, ada peran besar profesi yang mendidik tanpa putus dari generasi ke generasi. Mereka adalah guru. Berkat dedikasi mereka, banyak tercipta sumber daya manusia tercerahkan.
Dalam filosofi Jawa, guru memiliki makna digugu lan ditiru. Digugu berarti setiap perkataan dan perbuatan guru harus bisa dipertanggungjawabkan, sedangkan ditiru berarti setiap sikap dan perbuatan guru pantas untuk dijadikan sebagai teladan bagi siswa.
Kesuksesan para ilmuwan, inventor, birokrat, teknokrat, dan profesi lain tidak lepas dari peran guru yang mendidik mereka.
Tema Hari Guru Tahun 2024 berupa "Guru Hebat, Indonesia Kuat" menyiratkan pesan menghadirkan pendidikan bermutu yang bersumber dari guru-guru hebat. Dari sentuhan pikiran dan hati merekalah bakal lahir generasi yang kuat dan tangguh.
Akan tetapi, saat sekarang, bangsa Indonesia menghadapi tantangan berat, baik yang berkaitan dengan mutu sumber daya manusia maupun yang berkaitan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menyikapi masalah tersebut, Prof. Fauzi, pakar pendidikan Universitas Islam Negeri Prof KH Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, menyatakan para guru harus lebih terbuka pikirannya dengan terus belajar agar bisa menemukan ide-ide baru dan tidak ketinggalan perkembangan zaman.
Selain punya pola pikir yang kuat bagaimana mendidik dan mengembangkan ilmu, guru hebat itu memiliki motivasi kuat dalam mendidik anak-anak bangsa. Motivasi tersebut penting karena mereka mendidik dan melayani anak-anak bangsa dengan segala keragamannya.
Sebagai sosok yang menjadi ujung tombak menciptakan SDM berkualitas, guru harus menguatkan diri dengan keterampilan dan kecakapan yang dibutuhkan untuk mendidik anak agar menjadi generasi yang tangguh dalam menghadapi berbagai persoalan.
Dengan keterampilan dan kecakapan itu, guru memiliki kemampuan beradaptasi dan mengakomodasi kemajuan teknologi.
Jika para guru tidak memiliki kemampuan memanfaatkan teknologi yang berkembang, peserta didiknya mustahil bisa menjadi generasi yang kuat, cakap, dan beradaptasi dengan perkembangan.
Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan guru-guru yang bisa membangun budaya belajar, yang menjadi inti dari pendidikan. Ide belajar harus dimulai dari guru itu sendiri karena guru adalah pembelajar dan orang yang terus mau belajar. Tidak mungkin yang diajarkan bisa terus berkembang kalau guru tersebut tidak mau belajar.
Orang-orang yang telah memiliki budaya belajar--ketika menghadapi tantangan apa pun--mereka akan cepat beradaptasi dan mencari solusi mengatasi permasalahan.
Fauzi, yang juga Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) UIN Saizu, mengakui kelemahan pendidikan di Indonesia saat ini, antara lain, belum melahirkan orang-orang yang memiliki tradisi belajar kuat. Padahal, peradaban dunia itu dibangun oleh ilmu pengetahuan, yang diperoleh dengan belajar.
"Kita harus merefleksi apakah guru-guru kita sudah terbangun budaya belajarnya? Ada perubahan sedikit saja langsung terkejut, heran, khawatir, dan takut. Ini karena tidak memiliki kesiapan, spirit belajarnya belum terbangun," ungkapnya.
Bagi guru yang punya budaya belajar, mereka pasti tidak akan menunggu, tetapi malah bersikap adaptif, siap menghadapi, dan mencari solusinya.
Perubahan itu bersifat abadi. Ia akan bisa dihadapi jika guru punya budaya belajar. Dengan menjadi pembelajar, yakni orang-orang terus belajar menemukan, mencari, dan membenturkan diri dengan segala hal, ia siap menghadapi dan akan menemukan jawabannya.
Saat ini memang banyak orang tua yang gelisah karena motivasi belajar anak-anaknya rendah. Apalagi tidak ada ujian nasional. Padahal inti dari masalah itu karena budaya belajar yang rendah.
Jika anak-anak itu memiliki budaya belajar, ada sistem ujian seperti apa pun, mereka pasti siap menghadapinya.
"Maka bagaimana kita semuanya, termasuk LPTK (lembaga pendidikan tenaga kependidikan) yang melahirkan calon-calon guru, menanamkan nilai-nilai belajar ini menjadi sebuah tradisi, menjadi sikap, karakter yang melekat dalam setiap orang Indonesia," katanya.
Setiap orang Indonesia harus tertanam semangat untuk belajar, menemukan sesuatu yang ada di dalam kehidupan. Apa yang dibangun oleh negara-negara maju seperti China, itu karena negara tersebut memiliki kultur belajar yang tinggi.
Oleh China, jeunggulan negara lain dimodifikasi bahkan ditiru, selanjutnya dibuat kreasi atau inovasi hingga akhirnya menjadi negara maju setelah melalui proses panjang dalam membangun keunggulan itu.
Keunikan tersebut terlihat dari bangsa China dalam membangun budaya belajar dengan karakter dasar identitasnya sebagai orang-orang yang mau belajar dan terus belajar.
Oleh karena itu, budaya belajar harus dimulai dari guru. Jangan hanya menyuruh peserta didik membaca buku. Guru juga harus membaca buku setiap hari untuk menambah wawasan dan memperbarui informasi.
Terkait dengan Hari Guru yang diperingati setiap 25 November, Fauzi mengatakan saat sekarang sudah ada tunjangan profesi guru (TPG). Namun pertanyaannya, seberapa besar guru mengalokasikan TPG-nya itu untuk meningkatkan kualitas diri dengan menguatkan kultur belajarnya.
Dalam hal ini, para guru perlu merefleksi dan mengevaluasi diri untuk mengetahui apakah sudah mempunyai budaya belajar dan kultur membaca atau belum memiliki semua itu.
Selama ini, peringatan Hari Guru sering kali difokuskan pada kesejahteraan guru meskipun saat sekarang kesejahteraannya makin meningkat. Akan tetapi pertanyaannya, apakah meningkatnya kesejahteraan tersebut berbanding lurus dengan meningkatnya kualitas diri dalam konteks sebagai seorang guru yang harus mendidik orang.
Jika kesejahteraannya naik namun kemudian pola pikir dan mentalitas belajarnya tidak tumbuh dan berkembang, hal itu menjadi persoalan serius bagi masa depan Indonesia. Oleh karena itu, Fauzi menilai hal tersebut harus menjadi kritik semua pihak dalam merespons perkembangan masa depan pendidikan di Indonesia.
Karena proses pendidikan pada dasarnya membangun peradaban bangsa, pakar pendidikan Darmaningtyas menekankan bahwa pendidikan harus mampu mengantisipasi masa depan dalam jangka yang panjang, tidak hanya yang saat ini, apalagi masa lalu.
Konsekuensinya, para pendidik harus senantiasa memutakhirkan kecakapan dan ilmu pengetahuannya, agar terhubung dengan kebutuhan masa depan.
Persoalan hukum
Di sisi lain, sering ditemukan ada guru yang tersandung persoalan hukum, baik yang disebabkan oleh perilakunya yang menyimpang maupun "dipaksakan" berhadapan dengan hukum karena mendisiplinkan peserta didik.
Terkait dengan guru yang menghadapi persoalan hukum atas perilaku yang menyimpang dari etika, norma, dan peraturan perundang-undangan lainnya, hal itu merupakan tugas semua pihak karena mungkin ada guru yang memang belum paham tentang hukum sehingga perlu adanya pencerahan mengenai hal tersebut.
Yang tidak kalah penting adalah persoalan moralitas atau akhlak harus dikuatkan. Dari empat kompetensi guru, selama ini yang paling sering disentuh hanya pedagogik dan profesional, sedangkan kepribadian dan sosial jarang disentuh.
Dalam kenyataan, sebagian guru yang menyimpang perilakunya dengan melanggar etika sosial, etika agama, serta etika hidup berbangsa dan bernegara. Hal itu bisa saja terjadi karena kompetensi kepribadian kurang mendapat prioritas di dalam penguatannya sehingga lahir perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan identitas seorang guru yang harus digugu lan ditiru.
Oleh karena itu harus memosisikan ulang kompetensi kepribadian yang selama ini kurang dominan dalam wacana-wacana peningkatan kompetensi guru karena lebih cenderung pada masalah pedagogik dan profesional.
Sementara untuk guru yang terjerat permasalahan hukum karena mendisiplinkan peserta didik, hal itu dapat terjadi karena beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, guru sebenarnya bertujuan baik agar peserta didiknya tertib sehingga melakukan sesuatu untuk mendisplinkan muridnya.
Akan tetapi, guru juga harus paham bahwa tujuan yang baik harus diimbangi dengan cara yang baik dan benar.
Di samping mempunyai pemahaman tentang target, guru juga harus paham tentang strategi, bagaimana caranya agar peserta didiknya disiplin dan tertib tetapi tidak menyalahi aturan serta tidak menimbulkan kekerasan. Dalam dunia pendidikan, kekerasan tidak boleh terjadi dalam bentuk apa pun dan oleh siapa pun.
Banyak cara, teori, dan strategi yang dapat dilakukan guru untuk mendisiplinkan peserta didik tanpa harus melakukan kekerasan. Bahkan, banyak sekolah yang berhasil mendisiplinkan muridnya tanpa harus ada korban kekerasan, baik fisik maupun mental, sehingga hal itu harus dipahami oleh para guru.
Selain itu, bisa jadi guru menghadapi persoalan hukum karena tugasnya. Oleh karena itu, perlindungan hukum kepada guru juga harus dilakukan. Jangan sampai guru takut melakukan tugas profesinya karena merasa terancam atau khawatir berhadapan dengan hukum.
Guru harus betul-betul menjalankan tugas dalam suasana nyaman, tenang, damai, dan tidak khawatir tersandung persoalan hukum.
Upaya mendisiplinkan dan menertibkan peserta didik harus dilakukan oleh guru karena merupakan salah satu target pendidikan, namun tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang menimbulkan trauma kepada anak didik.
Selain itu, jangan sampai guru tidak tenang karena merasa terintimidasi dengan pasal atau persoalan hukum. Oleh karena itu, perlindungan terhadap profesi guru harus kuat.
Organisasi profesi guru harus memastikan bahwa guru dijamin keselamatannya sepanjang melaksanakan tugas dengan benar. Jangan sampai terjadi kriminalisasi terhadap guru yang sedang menjalankan tugas.
Editor: Achmad Zaenal M
Di balik kemajuan peradaban bangsa, ada peran besar profesi yang mendidik tanpa putus dari generasi ke generasi. Mereka adalah guru. Berkat dedikasi mereka, banyak tercipta sumber daya manusia tercerahkan.
Dalam filosofi Jawa, guru memiliki makna digugu lan ditiru. Digugu berarti setiap perkataan dan perbuatan guru harus bisa dipertanggungjawabkan, sedangkan ditiru berarti setiap sikap dan perbuatan guru pantas untuk dijadikan sebagai teladan bagi siswa.
Kesuksesan para ilmuwan, inventor, birokrat, teknokrat, dan profesi lain tidak lepas dari peran guru yang mendidik mereka.
Tema Hari Guru Tahun 2024 berupa "Guru Hebat, Indonesia Kuat" menyiratkan pesan menghadirkan pendidikan bermutu yang bersumber dari guru-guru hebat. Dari sentuhan pikiran dan hati merekalah bakal lahir generasi yang kuat dan tangguh.
Akan tetapi, saat sekarang, bangsa Indonesia menghadapi tantangan berat, baik yang berkaitan dengan mutu sumber daya manusia maupun yang berkaitan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menyikapi masalah tersebut, Prof. Fauzi, pakar pendidikan Universitas Islam Negeri Prof KH Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, menyatakan para guru harus lebih terbuka pikirannya dengan terus belajar agar bisa menemukan ide-ide baru dan tidak ketinggalan perkembangan zaman.
Selain punya pola pikir yang kuat bagaimana mendidik dan mengembangkan ilmu, guru hebat itu memiliki motivasi kuat dalam mendidik anak-anak bangsa. Motivasi tersebut penting karena mereka mendidik dan melayani anak-anak bangsa dengan segala keragamannya.
Sebagai sosok yang menjadi ujung tombak menciptakan SDM berkualitas, guru harus menguatkan diri dengan keterampilan dan kecakapan yang dibutuhkan untuk mendidik anak agar menjadi generasi yang tangguh dalam menghadapi berbagai persoalan.
Dengan keterampilan dan kecakapan itu, guru memiliki kemampuan beradaptasi dan mengakomodasi kemajuan teknologi.
Jika para guru tidak memiliki kemampuan memanfaatkan teknologi yang berkembang, peserta didiknya mustahil bisa menjadi generasi yang kuat, cakap, dan beradaptasi dengan perkembangan.
Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan guru-guru yang bisa membangun budaya belajar, yang menjadi inti dari pendidikan. Ide belajar harus dimulai dari guru itu sendiri karena guru adalah pembelajar dan orang yang terus mau belajar. Tidak mungkin yang diajarkan bisa terus berkembang kalau guru tersebut tidak mau belajar.
Orang-orang yang telah memiliki budaya belajar--ketika menghadapi tantangan apa pun--mereka akan cepat beradaptasi dan mencari solusi mengatasi permasalahan.
Fauzi, yang juga Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) UIN Saizu, mengakui kelemahan pendidikan di Indonesia saat ini, antara lain, belum melahirkan orang-orang yang memiliki tradisi belajar kuat. Padahal, peradaban dunia itu dibangun oleh ilmu pengetahuan, yang diperoleh dengan belajar.
"Kita harus merefleksi apakah guru-guru kita sudah terbangun budaya belajarnya? Ada perubahan sedikit saja langsung terkejut, heran, khawatir, dan takut. Ini karena tidak memiliki kesiapan, spirit belajarnya belum terbangun," ungkapnya.
Bagi guru yang punya budaya belajar, mereka pasti tidak akan menunggu, tetapi malah bersikap adaptif, siap menghadapi, dan mencari solusinya.
Perubahan itu bersifat abadi. Ia akan bisa dihadapi jika guru punya budaya belajar. Dengan menjadi pembelajar, yakni orang-orang terus belajar menemukan, mencari, dan membenturkan diri dengan segala hal, ia siap menghadapi dan akan menemukan jawabannya.
Saat ini memang banyak orang tua yang gelisah karena motivasi belajar anak-anaknya rendah. Apalagi tidak ada ujian nasional. Padahal inti dari masalah itu karena budaya belajar yang rendah.
Jika anak-anak itu memiliki budaya belajar, ada sistem ujian seperti apa pun, mereka pasti siap menghadapinya.
"Maka bagaimana kita semuanya, termasuk LPTK (lembaga pendidikan tenaga kependidikan) yang melahirkan calon-calon guru, menanamkan nilai-nilai belajar ini menjadi sebuah tradisi, menjadi sikap, karakter yang melekat dalam setiap orang Indonesia," katanya.
Setiap orang Indonesia harus tertanam semangat untuk belajar, menemukan sesuatu yang ada di dalam kehidupan. Apa yang dibangun oleh negara-negara maju seperti China, itu karena negara tersebut memiliki kultur belajar yang tinggi.
Oleh China, jeunggulan negara lain dimodifikasi bahkan ditiru, selanjutnya dibuat kreasi atau inovasi hingga akhirnya menjadi negara maju setelah melalui proses panjang dalam membangun keunggulan itu.
Keunikan tersebut terlihat dari bangsa China dalam membangun budaya belajar dengan karakter dasar identitasnya sebagai orang-orang yang mau belajar dan terus belajar.
Oleh karena itu, budaya belajar harus dimulai dari guru. Jangan hanya menyuruh peserta didik membaca buku. Guru juga harus membaca buku setiap hari untuk menambah wawasan dan memperbarui informasi.
Terkait dengan Hari Guru yang diperingati setiap 25 November, Fauzi mengatakan saat sekarang sudah ada tunjangan profesi guru (TPG). Namun pertanyaannya, seberapa besar guru mengalokasikan TPG-nya itu untuk meningkatkan kualitas diri dengan menguatkan kultur belajarnya.
Dalam hal ini, para guru perlu merefleksi dan mengevaluasi diri untuk mengetahui apakah sudah mempunyai budaya belajar dan kultur membaca atau belum memiliki semua itu.
Selama ini, peringatan Hari Guru sering kali difokuskan pada kesejahteraan guru meskipun saat sekarang kesejahteraannya makin meningkat. Akan tetapi pertanyaannya, apakah meningkatnya kesejahteraan tersebut berbanding lurus dengan meningkatnya kualitas diri dalam konteks sebagai seorang guru yang harus mendidik orang.
Jika kesejahteraannya naik namun kemudian pola pikir dan mentalitas belajarnya tidak tumbuh dan berkembang, hal itu menjadi persoalan serius bagi masa depan Indonesia. Oleh karena itu, Fauzi menilai hal tersebut harus menjadi kritik semua pihak dalam merespons perkembangan masa depan pendidikan di Indonesia.
Karena proses pendidikan pada dasarnya membangun peradaban bangsa, pakar pendidikan Darmaningtyas menekankan bahwa pendidikan harus mampu mengantisipasi masa depan dalam jangka yang panjang, tidak hanya yang saat ini, apalagi masa lalu.
Konsekuensinya, para pendidik harus senantiasa memutakhirkan kecakapan dan ilmu pengetahuannya, agar terhubung dengan kebutuhan masa depan.
Persoalan hukum
Di sisi lain, sering ditemukan ada guru yang tersandung persoalan hukum, baik yang disebabkan oleh perilakunya yang menyimpang maupun "dipaksakan" berhadapan dengan hukum karena mendisiplinkan peserta didik.
Terkait dengan guru yang menghadapi persoalan hukum atas perilaku yang menyimpang dari etika, norma, dan peraturan perundang-undangan lainnya, hal itu merupakan tugas semua pihak karena mungkin ada guru yang memang belum paham tentang hukum sehingga perlu adanya pencerahan mengenai hal tersebut.
Yang tidak kalah penting adalah persoalan moralitas atau akhlak harus dikuatkan. Dari empat kompetensi guru, selama ini yang paling sering disentuh hanya pedagogik dan profesional, sedangkan kepribadian dan sosial jarang disentuh.
Dalam kenyataan, sebagian guru yang menyimpang perilakunya dengan melanggar etika sosial, etika agama, serta etika hidup berbangsa dan bernegara. Hal itu bisa saja terjadi karena kompetensi kepribadian kurang mendapat prioritas di dalam penguatannya sehingga lahir perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan identitas seorang guru yang harus digugu lan ditiru.
Oleh karena itu harus memosisikan ulang kompetensi kepribadian yang selama ini kurang dominan dalam wacana-wacana peningkatan kompetensi guru karena lebih cenderung pada masalah pedagogik dan profesional.
Sementara untuk guru yang terjerat permasalahan hukum karena mendisiplinkan peserta didik, hal itu dapat terjadi karena beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, guru sebenarnya bertujuan baik agar peserta didiknya tertib sehingga melakukan sesuatu untuk mendisplinkan muridnya.
Akan tetapi, guru juga harus paham bahwa tujuan yang baik harus diimbangi dengan cara yang baik dan benar.
Di samping mempunyai pemahaman tentang target, guru juga harus paham tentang strategi, bagaimana caranya agar peserta didiknya disiplin dan tertib tetapi tidak menyalahi aturan serta tidak menimbulkan kekerasan. Dalam dunia pendidikan, kekerasan tidak boleh terjadi dalam bentuk apa pun dan oleh siapa pun.
Banyak cara, teori, dan strategi yang dapat dilakukan guru untuk mendisiplinkan peserta didik tanpa harus melakukan kekerasan. Bahkan, banyak sekolah yang berhasil mendisiplinkan muridnya tanpa harus ada korban kekerasan, baik fisik maupun mental, sehingga hal itu harus dipahami oleh para guru.
Selain itu, bisa jadi guru menghadapi persoalan hukum karena tugasnya. Oleh karena itu, perlindungan hukum kepada guru juga harus dilakukan. Jangan sampai guru takut melakukan tugas profesinya karena merasa terancam atau khawatir berhadapan dengan hukum.
Guru harus betul-betul menjalankan tugas dalam suasana nyaman, tenang, damai, dan tidak khawatir tersandung persoalan hukum.
Upaya mendisiplinkan dan menertibkan peserta didik harus dilakukan oleh guru karena merupakan salah satu target pendidikan, namun tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang menimbulkan trauma kepada anak didik.
Selain itu, jangan sampai guru tidak tenang karena merasa terintimidasi dengan pasal atau persoalan hukum. Oleh karena itu, perlindungan terhadap profesi guru harus kuat.
Organisasi profesi guru harus memastikan bahwa guru dijamin keselamatannya sepanjang melaksanakan tugas dengan benar. Jangan sampai terjadi kriminalisasi terhadap guru yang sedang menjalankan tugas.
Editor: Achmad Zaenal M
Pewarta : Sumarwoto
Editor : Edhy Susilo
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
BPJAMSOSTEK sosialisasi jaminan sosial ketenagakerjaan ke guru madin di Kudus
13 December 2024 21:48 WIB
Kolaborasi Google Lens dan Canva perkaya pembelajaran prakarya rekayasa kelas XI
05 December 2024 13:46 WIB
Terpopuler - Spektrum
Lihat Juga
Chamdawati, kisah pejuang sampah dari Kudus yang gigih sadarkan masyarakat
29 November 2024 10:20 WIB
FODOR's No List 2025 dan tantangan mewujudkan pariwisata berkualitas di Indonesia
23 November 2024 23:32 WIB