Sambil menggendong cucunya yang berumur sekitar tiga bulan, perempuan bernama Sumiyah itu bercerita tentang parang yang disebut warga salah satu dusun terakhir di selatan puncak Gunung Sumbing itu sebagai "wedhong".

Parang itu baru saja dibeli di Pasar Kaliangkrik, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Uang pembelian parang dari sebagian kecil bantuan pemerintah terkait dengan kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak, yakni program bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Sebilah parang itu dibelinya dengan harga Rp35.000.

Sebagian lain bantuan itu, untuk membeli beras dan keperluan rumah tangganya. Ia adalah salah satu di antara sejumlah warga Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, di kawasan Gunung Sumbing yang tidak terdaftar sebagai penerima BLSM.

"Kulo mboten kejatah. Ning dados mboten lumrah bungah e, diparingi Pak Rejo. (Saya tidak mendapat jatah BLSM. Tetapi bergembira sekali dikasih Pak Rejodimulyo, red.)," katanya dalam bahasa Jawa, siang itu, di rumah pemimpin Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing, Sumarno, didampingi Kepala Urusan Umum Desa Sukomakmur Sarwo Edi dan Kepala Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur Wasilo.

Cerita Kadus Wasilo, bahwa Rejodimulyo, salah satu pemuka masyarakat Krandegan dan dianggap berekonomi cukup di kampung itu, mendapat kartu perlindungan sosial, untuk syarat mengambil BLSM.

Dia pun bersama 193 warga setempat lainnya mengambil BLSM di Balai Desa Sukomakmur pada Minggu (7/7). Ketika itu, petugas Kantor Pos Kaliangkrik, melayani warga setempat di balai desa tersebut, sejak sekitar pukul 16.00 hingga 22.30 WIB. Jarak Dusun Krandegan dengan balai desa sekitar satu kilometer, sedangkan dengan Kantor Pos Kaliangkrik sekitar 14 kilometer.

Jumlah seluruh warga dusun itu, 380 kepala keluarga atau sekitar 1.400 jiwa, sedangkan mereka yang mendapatkan BLSM sebanyak 194 kepala keluarga. Total warga Desa Sukomakmur 1.330 kepala keluarga atau 5.367 jiwa, sedangkan mereka yang mendapat BLSM sebanyak 616 kepala keluarga.

Secara nasional, pemerintah mengalokasikan dana BLSM sekitar Rp9,32 triliun untuk sekitar 15,5 juta keluarga kurang mampu di seluruh Tanah Air. Data tentang penerima BLSM berdasarkan pendataan oleh Badan Pusat Statistik.

Program itu terkait dengan kenaikan harga premium sebesar Rp2.000 per liter menjadi Rp6.500 dan solar sebesar Rp1.000 menjadi Rp5.500. Harga baru itu mulai berlaku 22 Juni 2013.

Sumiyah mengaku didatangi Rejodimulyo terkait dengan pemberian BLSM Rp300.000 (jatah Juni-Juni 2013), setelah yang bersangkutan mengambil di Balai Desa Sukomakmur bersama para warga setempat lainnya.

"Karena saya dianggap lebih berhak, layak menerima," kata Sumiyah yang suaminya meninggal dunia beberapa tahun lalu dan kini tinggal dengan menantu serta cucunya, sedangkan anak lelakinya menjadi buruh bangunan di Yogyakarta.

Wasilo menyebut sekitar 45 kepala keluarga di dusun setempat seharusnya layak menerima BLSM namun mereka tidak mendapat bantuan itu, sedangkan sekitar 20 kepala keluarga seharusnya tidak mendapatkan jatah bantuan itu, tetapi nama mereka masuk dalam daftar penerima BLSM.

"Kami merasa tidak diikutkan dalam pendataan. Pemberitahuan untuk pengambilan BLSM juga mendadak, Sabtu (6/7) saya diberi tahu, supaya Minggu (7/7) warga diminta mengambil di balai desa," katanya.

Sarwo Edi yang juga salah satu pemimpin komunitas seniman petani Dusun Kradegan yang tergabung dalam Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing itu mengatakan data warga desa yang mestinya layak menerima BLSM tetapi belum terdaftar sebagai penerima, telah dikirim ke kantor kecamatan.

Begitu pula dengan daftar nama warga yang seharusnya tidak layak menerima BLSM tetapi terdaftar sebagai penerima, juga telah dikirim ke kantor kecamatan.

Kartu Perlindungan Sosial dengan nama Rejodimulyo sebagai syarat untuk mengambil dana BLSM, kemudian diserahkan pemiliknya kepada Kadus Wasilo untuk disimpan guna penerimaan selanjutnya. Pembagian BLSM kepada masyarakat kurang mampu berlangsung untuk jatah selama empat bulan.

Lain lagi dengan cerita Wasilo tentang Ruwiyanto (50) dengan Parjo (50). Keduanya dipandang sama-sama berekonomi kurang mampu, akan tetapi Ruwiyanto terdaftar sebagai penerima BLSM sedangkan Parjo tidak masuk.

Uang BLSM sebesar Rp300.000 yang diterima Ruwiyanto untuk jatahJuni dan Juli 2013 itu, sebagian atau Rp150.000 diberikan secara suka rela kepada Parjo.

Demikian pula dengan dua keluarga lainnya, yakni Waryanto (63) dan Parsinah (55). Waryanto yang dianggap masyarakat setempat sebagai petani berpendapatan relatif cukup, tetapi mendapat jatah BLSM, sedangkan Parsinah yang hidup menjanda dan masih saudara Waryanto, tidak mendapat jatah itu.

Separo BLSM yang diterima Waryanto kemudian diberikannya kepada Parsinah yang sehari-hari membuka warung kecil-kecilan di tepi jalan, dekat gedung sekolah dasar di kampung itu.

"Kami sama-sama membutuhkan, sehingga sebagian saya berikan Parsinah, kebetulan kami masih saudara," kata Waryanto.

Sarwo Edi menjelaskan bahwa masyarakat setempat memiliki kriteria tentang tetangganya yang relatif hidup berkekurangan, antara lain hasil pertanian sedikit (masyarakat setempat umumnya sebagai petani sayuran), janda, duda, jompo, tempat tinggal menumpang di rumah saudara, tidak memiliki sepeda motor, bekerja sebagai buruh tani, dan pencari kayu bakar.

"Perangkat desa tidak tahu siapa yang mendata warga miskin di sini, tetapi katanya daftar penerima BLSM berdasarkan pendataan oleh BPS tahun 2011. Kemarin itu juga tidak ada sosialisasi BLSM," katanya.

Akan tetapi, katanya, relatif tidak ada gejolak masyarakat desa setempat, terkait dengan penyaluran BLSM jatah Juni-Juli 2013.

Ia memastikan bahwa selanjutnya warga akan membicarakan hal itu dalam pertemuan formal secara rutin mereka di dusun masing-masing, agar program bantuan itu berjalan sukses di desa setempat.

Pemerintah pusat menggelontorkan BLSM berdasarkan data yang ada, sedangkan kekurangan atas pelaksanaan di lapangan ternyata dikelola dengan hati oleh masyarakat dusun.

"Kekurangannya kami laporkan melalui kecamatan, tetapi di masyarakat, hati mereka yang bekerja," kata Sarwo Edi.