Di Tempuran itu Mereka 'Larung Sukerta'
Sabtu, 7 September 2013 21:21 WIB
Anak-anak Sanggar Omah Ngisor di kawasan Gunung Sumbing mementaskan wayang kertas di tempuran Sungai Pabelan dengan Progo, Desa Sokorini, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, saat penutupan agenda Festival Seni dan Tradisi Tlatah Bocah 2013, Sabtu
Di tempuran sungai itu dengan Kali Pabelan yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi, Sabtu (7/9) menjelang petang, seorang pemuka masyarakat setempat, Muhroji bertutur tentang betapa hebatnya banjir lahar melewati sungai itu, sekitar tiga tahun lalu.
Ia bercerita tentang suara gemuruh batu-batu ukuran cukup besar dari Gunung Merapi yang bertumbukan melewati tempuran Pabelan-Progo di Desa Sokorini, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tempatnya tinggal.
"Beberapa kali banjir lahar melewati tempat ini, yang pertama bersamaan dengan runtuhnya jembatan Srowol di Progowati (Kecamatan Mungkid) tiga tahun lalu, melewati sungai di sini," kata pemuka masyarakat Desa Sokorini itu menjelang penutupan agenda Festival Seni Tradisi Tlatah Bocah 2013 di tempat tersebut.
Agenda seni dan budaya itu, berlangsung sejak 22 Juni hingga 7 September 2013, antara lain berupa tradisi "Merti Jiwo" di Dusun Turgo, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, di kawasan Gunung Merapi, "Hajat Seni" di Dusun Gumuk, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang (Gunung Merapi).
Selain itu, penyerahan beasiswa seni di Jakarta, "Laku Lampah" di Desa Sambak, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang (Gunung Sumbing), dan penutupan di tempuran Sungai Pabelan-Progo, Desa Sokorini (Pegunungan Menoreh).
Jarak antara tempuran itu dengan permukiman warga Desa Sokorini sekitar 1 kilometer, ditempuh dengan berjalan kaki melewati pematang areal pertanian padi dan sayuran milik petani setempat. Kawasan itu juga menjadi muara Sungai Sileng yang aliran airnya berhulu di Pegunungan Menoreh di Dusun Pucung, Desa Candirejo, Kecamatan Borobudur.
Muhroji menunjuk beberapa tempat yang sebelum banjir lahar berupa areal sawah warga setempat. Namun, saat ini penuh dengan material dari Gunung Merapi dan telah menjadi lokasi penambangan pasir dan batu dengan menggunakan alat berat.
"Kaca jendela rumah kami bergetar setiap kali banjir melewati sungai ini. Kami waspada," katanya dalam bahasa Jawa.
Cahaya matahari di tempuran setempat makin temaram dan terkesan indah, beberapa saat setelah sekelompok anak dari Desa Sambak, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang yang tergabung dalam Sanggar Omah Ngisor pimpinan Muhammad Aprianto, memainkan secara kontemporer wayang kertas dengan dalang Bayu Nurhakim (12).
Lakon wayang kertas yang dimainkan dalang anak menggunakan bahasa Jawa itu adalah "Anak Hebat Datang Menyelamatkan Dunia". Pementasan selama sekitar 20 menit didukung dengan sejumlah kawan putrinya sebagai sinden dan beberapa lainnya menabuh seperangkat gamelan secara sederhana.
Bayu yang siswa kelas VII SMP Muhammadiyah Sambak itu memainkan enam tokoh, antara lain bernama Jeger, Teplon, Blendo, Simbok, Sekar, Bubay, dan dua gunungan.
Tempat di antara bebatuan sisa banjir lahar di tempuran itu, antara lain bertabur bunga mawar, dipasang gedebok untuk menancapkan wayang kertas, dan instalasi dua gunungan dari batang pohon jagung serta dua batang pohon tebu di samping kanan serta kiri sang dalang cilik bersila, memainkan wayang-wayang kontemporernya.
"Pesan dari kisah wayang itu, supaya anak sejak kecil berperilaku jujur, disiplin, dan menghargai alam serta sesama. Nilai-nilai budi pekerti dan kebaikan yang hendak disampaikan dalam pentas wayang kertas ini," kata Aprianto.
Cahaya temaram matahari yang terpantul di permukaan air Sungai Progo terkesan membuat takjub mereka yang mengikuti prosesi "Larung Sukerta" itu. Pemuka aliran kepercayaan Kejawen Mataram dari Yogyakarta, Suwalji, menggelar kain bermotif batik di salah satu gundukan pasir di ujung Sungai Pabelan.
Beberapa piranti persembahyangan "Larung Sukerta", antara lain dupa, ratus, lilin, bunga mawar, buah-buahan dalam tempayan, dan periuk berisi bunga melati dan air ditata di atas kain yang sudah tergelar.
Suwalji yang mengenakan pakaian adat Jawa itu, duduk bersila menghadap tempuran dan mengucapkan doa dalam bahasa Jawa, sambil sesekali kedua telapak tangannya yang tertangkup diangkat hingga menempel dahi, seakan tanda menyembah.
Ia menyilakan siapa saja yang mengikuti prosesi itu, dipotong beberapa helai rambutnya untuk kemudian ditempatkan di periuk itu, dan dilarung di tempuran setempat.
"Larungan ini tanda bahwa kita memasuki kehidupan yang baru, meninggalkan berbagai hal yang buruk, membuang hal-hal yang tidak baik, supaya kehidupan menjadi lebih baik dan terbebas dari musibah," katanya.
Sejumlah anak dari Sanggar Bangun Budaya di Desa Sumber, Kecamatan Dukun (Gunung Merapi) pimpinan Untung Pribadi memainkan performa gerak menggunakan bentangan kain berwarna kuning keemasan berukuran cukup besar di antara bebatuan besar tempuran.
Beberapa lainnya memainkan performa gerak di tempat yang lain dengan sejumlah alat musik tiup sebagai pengiring.
Koordinator Komunitas Tlatah Bocah Kabupaten Magelang Gunawan Julianto menjelaskan tradisi "Larung Sukerta" yang ditandai dengan pelepasan benda di sungai itu, dipercaya masyarakat dapat menghilangkan berbagai unsur negatif dalam kehidupan sehari-hari.
"Supaya menjadi awal menjalani kehidupan dengan selalu berpikir positif, supaya hidup dijalani dengan semangat baru dan lebih baik dari masa lalu," katanya.
Seseorang membawa periuk terbungkus kain putih berjalan masuk air tempuran. Dia melarung periuk itu di tempuran Sungai Pabelan dengan Progo seiring dengan matahari membenamkan diri di ujung barat.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
600 paket bahan makan berprotein dibagikan kepada warga isoman di Magelang
13 August 2021 14:01 WIB, 2021
Terpopuler - Spektrum
Lihat Juga
Chamdawati, kisah pejuang sampah dari Kudus yang gigih sadarkan masyarakat
29 November 2024 10:20 WIB
FODOR's No List 2025 dan tantangan mewujudkan pariwisata berkualitas di Indonesia
23 November 2024 23:32 WIB