Logo Header Antaranews Jateng

Menjaga Etika Komunikasi dalam Pilkada

Jumat, 21 April 2017 09:39 WIB
Image Print
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi(STIKom) Semarang Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. (Ilustrator: D.Dj. Kliwantoro)
Works speack louder than words (kinerja berkata lebih nyaring dibanding wacana
Dua orang pakar komunikasi, Towne dan Alder mengatakan: "Communications is irreversible and unrepeatable (komunikasi tidak bisa diperbaiki dan diulang)."

  Di sisi lain, keduanya juga mengatakan: "Works speack louder than words (kinerja berkata lebih nyaring dibanding wacana)."

Bila dua hal tersebut dikaitkan dengan hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta versi quick count, kekalahan pasangan Basuki-Jarot mungkin disebabkan, antara lain, oleh perkataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu yang diopinikan sebagai penodaan terhadap agama, yang ternyata sulit diubah meski telah dilakukan berbagai upaya.

    Kinerjanya yang menurut survei rata-rata di atas 70 persen dinilai baik oleh masyarakat pun ternyata tidak bisa berkata lebih nyaring. Bahkan, dampaknya tidak berkorelasi dengan hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta setidaknya versi hitung cepat.

Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terjadi? Tidakkah pengalaman itu perlu menjadi perhatian serius bagi para kandidat, baik petahana maupun bukan, dalam pilkada serentak pada tahun 2018 yang akan datang? Bagaimana pula sebaiknya para calon pemilih serta para pengusung calon menyikapinya?

Penilaian

    Merunut pada perkataan para bijak, para sesepuh serta pinisepuh kita yang sangat waskito ing panjongko (cerdas dan luas wawasannya), kita tentu ingat pada petunjuk/pepatah Ajining diri, jalaran soko lathi (kita akan dihargai, manakala kita bisa menjaga tutur kata). Para sesepuh juga mengingatkan bahwa Sak dowo-dowoning lurung, isih dowo gurung (sepanjang-panjangnya jalan, masih panjang perkataan kita yang sering tidak terkendali).

Mungkin analisis ini hanyalah secuil pandangan dari sebuah sisi yang sempit. Namun, setidaknya pengalaman Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, dari sisi Ilmu Komunikasi mengindikasikan hal itu. Kita tentu paham bahwa kemenangan atau kekalahan dalam sebuah pemilihan umum dengan metode satu orang satu suara dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Namun, kesadaran orang pada pemanfaatan faktor komunikasi, didukung pula oleh pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dengan berbagai pemanfaatan serta kreativitas dalam penggunaannya, menyebabkan seolah-olah faktor komunikasilah yang menjadi penyebab utama hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Terlebih lagi, faktor komodifikasi media arus utama serta banyaknya informasi yang sulit disaring melalui media sosial, menjadikan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta seolah rasa Pemilihan Umum Presiden (Pilpres).

Dalam meraih kemenangan dalam sebuah pemilihan umum (pemilu), faktor utama dalam meraih dukungan calon pemilih adalah melalui komunikasi. Berbagai model serta teori diterapkan dalam menarik perhatian yang ujung-ujungnya berupa rasa simpati para calon pemilih. Selain menyampaikan berbagai janji menarik, cara menyampaikannya pun dibarengi dengan model atau teori dramatisme yang di dalamnya memainkan metafora "theatrical", alias akting yang meyakinkan.    

  Berbagai model juru kampanye serta media pun dipilih. Demikian pula, terkait dengan pengonstruksian pesannya dengan tujuan meraih simpati calon pemilih. Teori possitioning hingga consumers insight pun mereka manfaatkan, dan biasanya yang lebih mereka tekankan menyampaikan pesan semenarik mungkin sehingga justru faktor kejujuran serta etika tampaknya mereka abaikan.

Universalitas

    Berebut simpati  dengan menyampaikan berbagai janji dengan memanfaatkan kata serta kalimat universal. Misalnya, demi rakyat kecil yang masih jauh dari sejahtera yang biasanya dilakukan oleh para penantang. Sebaliknya, menyebut telah sejahteranya rakyat kecil dari petahana. Akhirnya, tampak menjadi menu harian dalam berebut kemenangan dalam persaingan.

    Yang lebih perlu dijaga dan diperhitungkan sebenarnya adalah kejujuran dari apa yang mereka sampaikan serta janjikan karena dari sisi ilmu komunikasi janji itu terletak pada dunia abstrak. Bila kelak salah satu dari mereka yang berjanji itu terpilih, mereka harus mewujudkan janji mereka, dan itulah dunia nyata.

Bagi yang terpilih, rakyat akan menagih janji yang ada di dunia nyata. Dalam kasus Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang secara hitung cepat dimenangi pasangan Anis-Sandi, sejak dilantik pada bulan Oktober mendatang, rakyat akan menagih rumah DP 0, membangun tanpa menggusur, transportasi murah dan terintegrasi, serta janji lainnya. Rakyat DKI akan menilai apakah janji yang ada di dunia abstrak tersebut benar-benar diwujudkan.

Etika

Saking menariknya janji yang mereka sampaikan disertai dengan kepiawaian bermain drama dalam menarik simpati calon pemilih, kecenderungannya mereka mengabaikan etika. Mereka mungkin berpandangan bahwa di alam kebebasan serta keterbukaan itu etika komunikasi  jadi terlupakan.

    Mungkin mereka kurang mengerti atau sulit mencari ukuran. Padahal, sebenarnya secara mudah untuk mengetahuinya melalui cara bahwa bila apa yang mereka sampaikan secara bebas tersebut mengusik kebebasan pihak lain atau merugikan pihak lain, biasanya mereka melanggar etika, yang justru pada era kebebasan ini malah dianggap sebagai delik pidana.

Selain kasus Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, pengalaman yang terjadi di Jawa Tengah dengan terpilihnya Ganjar Pranowo yang mengalahkan Bibit Waluyo selaku petahana yang sebenarnya prestasi serta popularitasnya relatif cukup bagus ketika itu, berdasarkan berbagai analisis serta pandangan, juga disebabkan etika komunikasi petahana.

Selain mengacu pada pendapat Towne dan Alder di atas, tampaknya masyarakat Indonesia yang kurang menyukai orang yang dianggap jemawa, juga menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, belajar dari pengalaman Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, siapa pun yang akan berlaga dalam pilkada serentak pada tahun 2018 atau bahkan pemilihan umum anggota legislatif dan Pemilu Presiden RI 2019, selain berbagai faktor politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya, faktor etika komunikasi politik dengan rakyat serta berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) perlu dijaga.

Melalui cara itu, selain persaudaraan, bersahabatan, bahkan meluas keutuhan NKRI bisa dijaga, masyarakat pun tetap bisa tenang, bisa menjalankan tugas serta kewajibannya dengan baik sehingga akhirnya bisa berpartisipasi dalam demokrasi politik secara aktif, cerdas, serta dalam suasana sejuk dan damai.

*) Dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi(STIKom) Semarang.

Pewarta :
Editor:
COPYRIGHT © ANTARA 2025