Serikat Pekerja soroti pergeseran filosofi Program JHT
Rabu, 6 Oktober 2021 15:17 WIB
Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) Hermanto Achmad mengakui saat ini pencairan JHT sangat mudah dan banyak di antara pekerja yang menggunakan modus seolah-olah PHK untuk dapat melakukan klaim.
"Hal itu cenderung tidak sesuai dengan filosofi jaminan sosial yang sejak awal menjadi harapan bagi seluruh pekerja Indonesia untuk memiliki hari tua yang terjamin," kata Hermanto.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban berpendapat agar mekanisme pencairan JHT dikembalikan ke konsep UU nomor 24 tahun 2011 seperti praktek yang berlaku internasional berupa old saving.
"Dana yang disimpan di BPJS Ketenagakerjaan sebenarnya adalah dana ketahanan untuk pembangunan ekonomi. Ketika Jaminan Hari Tua diubah maknanya menjadi jaminan hari terjepit karena bisa diambil setelah dipecat, memang menjadi hilang filosofinya. Apakah dikembalikan (aturannya) ke undang-undang sebelumnya, itu mungkin juga masih perlu diskusi untuk lebih lanjut," kata Elly.
Baca juga: Vaksinasi oleh BPJS Ketenagakerjaan tembus 90.000 dosis
Elly juga menitikberatkan pada manfaat program Jaminan Pensiun (JP) yang masih sangat kecil yaitu Rp300 ribu hingga Rp3,6 juta per bulan.
Elly juga menyayangkan sejak program tersebut dijalankan sejak tahun 2015 hingga saat ini, belum dilakukan peninjauan kembali terkait besaran iurannya. Ia berharap peninjauan dapat dilakukan setiap 3 tahun sekali sesuai ketentuan agar manfaat yang diterima peserta maksimal.
Sebelumnya Komisi IX DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama dengan Kementerian Ketenagakerjaan, BPJS Ketenagakerjaan (BPJAMSOSTEK), dan perwakilan Serikat Pekerja/Buruh guna membahas terkait pengawasan klaim Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) terhadap pekerja atau buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) di masa pandemi COVID-19.
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI & Jamsos) Kemnaker Indah Anggoro Putri menyatakan bahwa peningkatan angka klaim JHT, salah satunya disebabkan banyaknya pekerja yang mengalami PHK.
Selain itu pihaknya pun mendapati adanya pergeseran filosofi dari program JHT yang seharusnya dinikmati ketika memasuki hari tua atau masa pensiun, namun banyak pekerja yang justru mencairkan saldo JHT setelah PHK.
Baca juga: BPJAMSOSTEK serahkan data BSU tahap II
Hal tersebut didasari Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 19 Tahun 2015 yang memungkinkan bagi para pekerja untuk melakukan klaim JHT satu bulan setelah mengalami PHK.
Saat ini Kemnaker sedang melakukan revisi terhadap Permenaker tersebut untuk mengembalikan kepada filosofi program JHT yang seharusnya.
“Kami merevisi Permenaker nomor 19 tersebut, kita kembalikan kepada filosofi JHT yaitu benar-benar sebagai tabungan di masa tua sebagai amanat yang tertera dalam Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 dan juga Peraturan Pemerintah (PP) nomor 46 tahun 2015,” kata Indah.
Direktur Pelayanan BPJAMSOSTEK Roswita Nilakurnia juga memaparkan data klaim JHT dalam kurun waktu Desember 2020 hingga Agustus 2021 dan dirinya membenarkan selama masa pandemi terjadi kenaikan jumlah klaim jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Hingga Agustus 2021, tercatat 1,49 juta kasus JHT dengan penyebab klaim didominasi pengundurkan diri dan PHK. Selain itu mayoritas nominal saldo JHT yang diklaim adalah di bawah Rp10 juta dan range umur peserta paling banyak di bawah 30 tahun dimana merupakan usia produktif bekerja.
Deputi Direktur Wilayah Jateng dan DIY Suwilwan Rachmat menambahkan tingginya klaim juga terjadi di Jateng dan DIY dimana sampai September 2021 tercatat 204.584 kasus dengan total pembayaran klaim Rp2.160.206.784.266,32.
"Sementara untuk pembayaran Jaminan Pensiun (JP) terdapat 56,192 kasus dengan total Rp53.392.129.805,42," kata Willy, panggilan akrab Suwilwan Rachmat.
Pewarta : Nur Istibsaroh
Editor:
Antarajateng
COPYRIGHT © ANTARA 2024