Jangan Biarkan Warung Kecil Ambruk
Jumat, 13 April 2012 11:03 WIB
Padahal, selama puluhan tahun bisnis eceran di area pinggiran perkotaan ini dikuasai toko kelontong dan warung-warung kecil. Dari hasil inilah mereka menafkahi diri dan keluarganya.
Kehadiran minimarket di berbagai kabupaten dan kota di Jawa Tengah nyaris tanpa kendala, kecuali Pemerintah Kota Surakarta yang sangat membatasi izin pendirian minimarket berjaringan di kota tersebut.
Dari sisi bisnis, tentu tidak ada yang keliru dengan kehadiran minimarket sepanjang mereka memang mendapatkan izin usaha. Apalagi kehadirannya secara nasional juga menyerap puluhan ribu tenaga kerja. Kalau efek berantainya (multiplier effects) diperhitungkan, kehidupan ratusan ribu orang bertali-temali dengan bisnis minimarket.
Selain itu, kehadiran minimarket berjaringan juga menjadikan konsumen mendapatkan pilihan lebih banyak ketika berbelanja.
Tingginya animo masyarakat berbelanja di minimarket itulah yang mendorong pelaku bisnis tersebut terus melebarkan jaringannya. Pada 2011 saja, jumlah minimarket di Kota Semarang sekitar 400 bangunan. Pada 2012 diperkirakan bisa mencapai 500-an bila tak ada regulasi yang membatasi untuk melindungi keberadaan warung kecil.
Untuk melihat secara luas masalah yang dihadapi bangsa ini apakah cukup hanya mengintip dari permukaan? Pasti tidak. Namun, mengapa sepertinya sebagian besar pemerintah kota dan kabupaten membiarkan serbuan minimarket ke daerahnya seolah tanpa kontrol.
Pemerintah tentu tidak bisa menghalangi orang berbisnis. Namun, jangan membiarkan perekonomian dari hulu hingga hilir dikuasai segelintir orang dan perusahaan tertentu. Apalagi keberadaan toko kelontong, pasar tradisional, dan warung-warung kecil selama puluhan tahun telah menjadi tulang punggung ekonomi pelaku usaha ekonomi mikro.
Di titik itulah pemerintah sebagai pengelola negara harus hadir dan menjalankan fungsinya sebagai regulator. Kebijakan yang ditempuh Wali Kota Surakarta mengenai pembatasan pendirian minimarket berjaringan bisa menjadi contoh bagaiamana seorang pemimpin melihat permasalahan lebih bijaksana.
Jokowi -- demikian Wali Kota Surakarta itu disapa -- bukan antipasar modern atau minimarket. Dia melihat, sebelum jaringan minimarket menggurita di kotanya, warung-warung kecil, toko kelontong, dan pasar tradisional harus ditata agar kelak bisa bersaing. Lihatlah, pasar-pasar tradisional di Solo sekarang ini lebih "ciamik" alias bagus. Di luar urusan mempercantik wajah pasar tradisional dan perkotaan, Jokowi juga mendorong perbankan menyalurkan kredit kepad usaha mikro serta menambah pengetahuan berbisnis para pedagang.
Dengan persiapan seperti itu, diharapkan mereka jauh bakal lebih siap dalam menghadapi persaingan bisnis yang tiada ampun dan tanpa belas kasihan itu.
Bagaimana dengan daerah-daerah lain, termasuk Kota Semarang sebagai Ibu Kota Jawa Tengah? Sepertinya rada ketinggalan dalam menyikapi serbuan minimarket berjaringan. Pemkab Kudus baru akan menyiapkan perda untuk atur minimarket.
Di Kota Semarang, misalnya, pertumbunan minimarket seperti cendawan di musim hujan. Bila tidak dikendalikan, hampir dipastikan penetrasinya kian menghujam ke pinggiran-pinggiran kota. Padahal, di kawasan pinggiran inilah toko-toko kelontong dan warung kecil eksis dan menjadi tumpuan hidup.
Jika tak ada perda yang mengatur pendirian minimarket atau pasar modern, kata anggota Komisi B DPRD Kota Semarang Ari Purbono, dikhawatirkan mematikan pedagang kecil tradisional.
Sejauh ini belum ada riset yang meneliti korelasi serbuan minimarket di Kota Semarang dengan keberadaan warung kecil, toko kelontong, dan pasar tradisional. Namun, melihat perubahan perilaku konsumen, terlihat bahwa keberadaan minimarket telah menyedot pendapatan warung-warung kecil.
Supermarket dan minimarket yang kian ramai dikunjungi konsumen jadi salah satu indikator kemakmuran kawasan. Konsumen mereka adalah dulu yang biasa membeli kebutuhan rumah tangga dalam jumlah kecil, di warung dekat rumah.
Kini mereka berubah. Konsumen memilih bertandang ke minimarket ketimbang ke warung di dekat rumah meski mereka hanya beli sekantong deterjen dan satu kilogram gula pasir.
Namun, sungguh terkutuk bila membiarkan warung dan toko-toko kecil ambruk diseruduk gurita bisnis bernama minimarket berjaringan.
(azm)
Pewarta : -
Editor:
Zaenal A.
COPYRIGHT © ANTARA 2025