Logo Header Antaranews Jateng

Perlu Wadah Tunggal bagi Penghayat Kepercayaan

Senin, 7 Januari 2013 19:28 WIB
Image Print
Anggota Komisi III (Bidang Hukum dan HAM) DPR RI asal Dapil Jatim VI, Eva K. Sundari, bersama pengurus Badan Kerja Sama Organisasi Penghayat dan Kepercayaan (BKOK) Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, di Tulungagung, Sabtu (5/1). (Foto Istimewa).


"Jumlah anggota penghayat yang tidak banyak, sepatutnya ditampung di satu wadah tunggal sehingga tidak tercerai-berai," katanya kepada ANTARA di Semarang, Senin malam.

Hal itu, kata Eva K. Sundari, merupakan bagian dari aspirasi pengurus Badan Kerja Sama Organisasi Penghayat dan Kepercayaan (BKOK) Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.

Guna mengantisipasi kebutuhan majelis adat, lembaga tradisional, dan penghayat, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, maka pengurus BKOK berharap adanya peleburan organisasi antara BKOK dan Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK).

Pada reses kali ini, anggota DPR RI asal Daerah Pemilihan Jatim VI (Blitar, Kediri, dan Tulungagung) itu sempat bertemu dengan pengurus BKOK Kabupaten Tulungagung yang terdiri atas 31 organisasi, Sabtu (5/1).

Kegiatan tersebut, kata Eva, dilatarbelakangi oleh pertemuan dengan ibu-ibu kelompok penghayat dari Nusantara di Gedung Mahkamah Konstitusi, 20 Desember 2012.

Saat bertemu Eva, mereka mengeluhkan praktik diskriminasi akibat pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) dalam hal pembuatan kartu tanda penduduk (KTP).

"Cukup melegakan sikap aparat pemerintah di Kabupaten Tulungagung yang cukup ramah dan tidak mempersulit para penghayat kepercayaan," kata Eva.

Meski di KTP tetap diberi tanda setrip, lanjut dia, hal tersebut tidak membatasi akses kelompok penghayat terhadap pelayanan-pelayanan publik lainnya. Misalnya, dalam pengurusan kartu sehat, kartu keluarga (KK), pernikahan, dan pemakaman.

Kendati demikian, mereka setuju dan mendukung usulan agar kolom agama dihilangkan karena menjadi sumber diskriminasi bagi kelompok penghayat pada wilayah lainnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Seperti keluhan para penganut agama-agama minoritas lainnya, para penghayat juga memprihatinkan keterpaksaan anak-anak mereka mengikuti pelajaran agama yang tidak sesuai dengan keyakinannya. Hal ini mengingat sekolah tidak menyediakan guru untuk penghayat kepercayaan.

Aspirasi lainnya dari kelompok penghayat adalah berkaitan dengan masa penugasan yang diberikan oleh Direktorat Kepercayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI kepada 'pemuka penghayat' yang bertugas menikahkan pasangan penghayat.

"Demi keadilan, kelompok penghayat meminta penugasan untuk 'pemuka penghayat' juga berlaku seumur hidup, seperti modin. Artinya, tidak per lima tahun seperti yang saat ini terjadi," demikian anggota Komisi III DPR RI asal Dapil Jatim VI, Eva K. Sundari.

Pewarta :
Editor: D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2024