Logo Header Antaranews Jateng

Tembang untuk Pemimpin yang Urus Merapi

Senin, 11 November 2013 06:41 WIB
Image Print
Salah satu adegan performa "Babad Sedulur Merapi" saat Gelar Budaya Hari Pahlawan 2013 diselenggarakan kerja sama Kevikepan Kedu dengan Museum Misi Muntilan, di Lapangan Pasturan Muntilan, Kabupaten Magelang, Minggu (10/11). (Hari Atmoko/dokumen).


"'Amba asih mring Pangeran, sumber tuking kekiyatan. Amba kalis ing bebaya, jinagi slaminya'," demikian refrain tembang itu yang terjemahannya, "Aku mengasihi Tuhan, Dia menjadi sumber kekuatan hidup. Hidupku terbebas dari bencana, dan terjaga selamanya".

Lantunan tembang oleh para waranggana itu, terkesan menjadi bagian penting pengiring performa "Babad Sedulur Merapi" dengan sutradara yang sekaligus dalang pementasan, Susanto.

Pementasan "Babad Sedulur Merapi" tersebut, dalam rangka Gelar Budaya Hari Pahlawan 2013, diselenggarakan atas kerja sama Kevikepan Kedu dengan Museum Misi Muntilan, di Lapangan Pasturan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (10/11).

Selagi tembang itu berulang-ulang mengalun, para pemain yang berjumlah sekitar 50 anak muda berasal dari berbagai paroki di Kevikepan Kedu, membagikan aneka sayuran hasil panenan petani Merapi yang diraih dari properti Gunung Merapi, kepada masyarakat yang memadati arena pementasan.

"Ini bukan sekadar tontonan, tetapi juga renungan yang menarik atas berkah dari erupsi Merapi pada 2010, dan maknanya mudah ditangkap oleh masyarakat," kata Kepala Kevikepan Kedu Romo F.X. Krisno Handoyo, usai pergelaran berdurasi sekitar 45 menit itu.

Sejumlah babak menandai performa "Babad Sedulur Merapi" yang juga pernah mereka mainkan dalam Festival Kesenian Tradisional, di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, akhir Juni 2013.

Dikisahkan bahwa kehidupan di kawasan Merapi pada awalnya tenteram dan damai. Masyarakat menyatu dengan alam gunung di perbatasan Jateng dengan Daerah Istimewa Yogyakarta itu, kuat dalam spiritualitas, dan menghidupi tradisi budayanya.

Seorang pemangku sesaji (Arseno) dalam performa itu, dengan berpakaian tarian tradisional membawa sesaji bersila di arena pementasan, dua lainnya yang berpakaian motif lurik berperforma menyapu tempat itu dengan sapu lidi.

Beberapa pelakon lainnya berselempang kain serba warna putih dengan gerak tari, melangkahkan kaki sambil tangannya menancapkan satu demi satu hio di sepanjang tepian arena, sedangkan sejumlah perempuan berkebaya ala petani, menaburkan kembang mawar yang diambil dari kendil berisi air.

Tabuhan musik gamelan melantun, mengiring performa kehadiran alam yang menyejahterakan masyarakat, sebagaimana disimbolkan masuknya sejumlah pemain sambil menandu properti globe raksasa ke arena pementasan.

"Anak-anak Merapi bersuka ria bermain di alamnya," demikian Sang Dalang Susanto menceritakan adegan itu, sembari para pelakon dalam sejumlah kelompok memainkan beberapa dolanan tradisional anak.

Para buta atau raksasa dalam wujud pemain bertopeng tarian tradisional grasak datang ke tempat itu. Mereka menggelindingkan properti globe itu ke sana dan ke mari, sebagai lambang manusia rakus sedang mengeruk kekayaan bumi Merapi, tak acuh terhadap kelestarian alam.

Masyarakat Merapi digambarkan dalam adegan berikutnya, sebagai resah, takut, dan gelisah atas ulah para raksasa. Kehadiran satriya (Aditya Putra) tak mampu menghentikan ulah rakus para raksasa.

"Eksploitasi besar-besaran Merapi, menggunakan alat-alat berat untuk menambang pasirnya, mesin-mesin canggih bekerja demi produktivitas. Alam menjadi rusak, sumber daya manusia tersingkir. Pemodal besar membayar hukum untuk membeli alam yang gratis diberikan Tuhan," kata Susanto yang juga pegiat komunitas Edukasi Gubug Selo Merapi (E-GSPi) kawasan Gunung Merapi, di Dusun Grogol, Desa Mangunsoka, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang itu.

Adegan lainnya mengisahkan Gunung Merapi fase erupsi. Masyarakat mengungsi dari bencana yang digambarkan dengan para pemain berselimut kain putih mengelilingi properti gunung itu.

Beberapa kali suara letusan menyalak dari puncak properti Gunung Merapi. Tabuhan gamelan pun riuh membangun suasana yang sering dipahami sebagai bencana alam, hingga akhirnya kain penutup properti terbuka dan terlihat aneka sayuran mengelilingi Merapi, untuk kemudian dibagikan kepada masyarakat.

Babak itu, seakan ingin menabur pesan bahwa erupsi Merapi memang harus disikapi dengan tepat. Gunung Merapi memberi pelajaran masyarakat dan pemimpin untuk menyikapi alam secara tepat atas bahayanya saat erupsi.

Akan tetapi, siapa saja seakan juga selalu digiring untuk membangun sikap arif terhadap Merapi karena gunung berapi itu memberi berkah kehidupan masyarakat sekitarnya.

Pemimpin harus bisa mengayomi masyarakat dan mengurus bencana Gunung Merapi dengan baik, jujur, dan tulus.

"'Golekana pemimpin kang bisa ngayomi, gawe ayem tentrem. Merapi menehi pepenget, sapa wae sing ora nresnani bakal nemahi. Mula ayo ambangun Merapi kanthi suci, lestari, widodo'. (Carilah pemimpin yang mengayomi, menenteramkan masyarakat. Merapi mengingatkan siapa yang tidak mencintai alam akan menuai bencana. Mari membangun Merapi dengan hati suci, untuk alam yang lestari dan hidup makmur, red.)," demikian Sang Dalang mengakhiri kisah "Babad Sedulur Merapi".


Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025