Antropolog: Teknologi Efektif untuk Politik Kebudayaan
Minggu, 26 Maret 2017 8:36 WIB
Universitas Diponegoro Semarang
Semarang, ANTARA JATENG - Guru Besar Antropologi Universitas Diponegoro Semarang Agus Maladi Irianto menilai teknologi informasi sangat efektif sebagai sarana politik budaya, sebagaimana dilakukan Korea Selatan.
"Dibandingkan Korea Selatan, kita sangat kalah, apalagi dengan adanya politik kebudayaan yang mereka lakukan," katanya usai dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Undip di Semarang, Sabtu.
Ia mengatakan bahwa Korea Selatan terbilang sukses mempromosikan produk-produk budaya pop mereka ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, yang menggunakan teknologi media, seperti media sosial dan televisi.
Seperti Gangnam Style, salah satu produk budaya K-Pop yang dikonstruksi sedemikian rupa sehingga mampu mengalahkan hegemoni budaya Barat, termasuk produk-produk industri mereka yang menyaingi produk-produk Jepang.
"Bagaimana kemudian dengan film-film Korea yang mampu menarik perhatian masyarakat, termasuk Indonesia. Taiwan, sekarang sudah mulai mengikuti dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi," katanya.
Mantan Ketua Dewan Kesenian Semarang (Dekase) itu mengatakan bahwa keberadaan media sosial dan televisi sekarang ini memang sangat memengaruhi banyak orang dan sudah mengubah perabadan sebagaimana kajian antropologi dulu.
"Antropologi selama ini lekat dengan hal-hal yang sifatnya eksotis, masyarakat berskala kecil, dan homogen. Namun, sekarang ini semuanya berubah. Perkembangan dunia dan masyarakat cenderung kompleks dan heterogen," katanya.
Agus mencontohkan bagaimana sebuah kegiatan yang hanya diikuti segelintir orang bisa memengaruhi jutaan orang. Sebaliknya, kegiatan yang diikuti ribuan dan jutaan orang justru berpengaruh pada sedikit orang.
"Dalam sekejap, orang sekarang ini bisa saling berhubungan, bermusuhan, atau justru bekerja sama dengan orang yang sebelumnya tidak dikenalnya. Kalau tidak mengikuti, antropologi bisa gagap menghadapi fenomena sosial yang berkembang pesat," katanya.
Kebudayaan, kata dia, bukanlah suatu benda atau keadaan yang "given" (abadi), melainkan selalu berkembang dan berubah secara terus-menerus sehingga antropologi tidak boleh berhenti menggali kajian kebudayaan.
"Dari media yang ada sekarang, media cetak yang terdaftar di Indonesia hanya ada sekitar 830 media, sementara media `online` lebih dari 40.000 media. Itu yang terdaftar, belum termasuk media sosial," katanya.
Oleh karena itu, mantan Dekan FIB Undip itu mengingatkan antropologi harus mampu menjawab tantangan-tantangan yang muncul seiring dengan perubahan perabadan yang luar biasa pesat pada era kontemporer.
"Dibandingkan Korea Selatan, kita sangat kalah, apalagi dengan adanya politik kebudayaan yang mereka lakukan," katanya usai dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Undip di Semarang, Sabtu.
Ia mengatakan bahwa Korea Selatan terbilang sukses mempromosikan produk-produk budaya pop mereka ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, yang menggunakan teknologi media, seperti media sosial dan televisi.
Seperti Gangnam Style, salah satu produk budaya K-Pop yang dikonstruksi sedemikian rupa sehingga mampu mengalahkan hegemoni budaya Barat, termasuk produk-produk industri mereka yang menyaingi produk-produk Jepang.
"Bagaimana kemudian dengan film-film Korea yang mampu menarik perhatian masyarakat, termasuk Indonesia. Taiwan, sekarang sudah mulai mengikuti dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi," katanya.
Mantan Ketua Dewan Kesenian Semarang (Dekase) itu mengatakan bahwa keberadaan media sosial dan televisi sekarang ini memang sangat memengaruhi banyak orang dan sudah mengubah perabadan sebagaimana kajian antropologi dulu.
"Antropologi selama ini lekat dengan hal-hal yang sifatnya eksotis, masyarakat berskala kecil, dan homogen. Namun, sekarang ini semuanya berubah. Perkembangan dunia dan masyarakat cenderung kompleks dan heterogen," katanya.
Agus mencontohkan bagaimana sebuah kegiatan yang hanya diikuti segelintir orang bisa memengaruhi jutaan orang. Sebaliknya, kegiatan yang diikuti ribuan dan jutaan orang justru berpengaruh pada sedikit orang.
"Dalam sekejap, orang sekarang ini bisa saling berhubungan, bermusuhan, atau justru bekerja sama dengan orang yang sebelumnya tidak dikenalnya. Kalau tidak mengikuti, antropologi bisa gagap menghadapi fenomena sosial yang berkembang pesat," katanya.
Kebudayaan, kata dia, bukanlah suatu benda atau keadaan yang "given" (abadi), melainkan selalu berkembang dan berubah secara terus-menerus sehingga antropologi tidak boleh berhenti menggali kajian kebudayaan.
"Dari media yang ada sekarang, media cetak yang terdaftar di Indonesia hanya ada sekitar 830 media, sementara media `online` lebih dari 40.000 media. Itu yang terdaftar, belum termasuk media sosial," katanya.
Oleh karena itu, mantan Dekan FIB Undip itu mengingatkan antropologi harus mampu menjawab tantangan-tantangan yang muncul seiring dengan perubahan perabadan yang luar biasa pesat pada era kontemporer.
Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor :
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Inilah Monumen Pejuang yang Akan Dibangun Pemkot bersama Keluarga Besar Brimob
19 December 2024 19:44 WIB
Terpopuler - Pendidikan
Lihat Juga
Membangun karakter bangsa tangguh dengan Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat
08 January 2025 11:46 WIB