Purbalingga (ANTARA) - Pagi baru saja di mulai ketika Bupati Purbalingga, Jawa Tengah, Dyah Hayuning Pratiwi duduk di bagian belakang mobil pemadam kebakaran. Sinar matahari yang keemasan memantul melalui jaket kuning panjang yang ia kenakan.
Mobil itu melaju dengan pelan sambil sesekali menyemprotkan disinfektan ke arah jalan. Sang perempuan yang duduk di bagian atas kendaraan terlihat cukup nyaman, sambil sesekali menyapa warga di sekitar dengan lambaian tangan.
Ia memang mengenakan masker yang menutupi sebagian wajahnya, namun dari pinggir matanya yang mengerut, akan dapat ketahuan kalau ia sedang melempar senyuman kepada mereka yang berdiri di jalan.
Tiap beberapa menit sekali, mobil itu menepi dan berhenti di pinggiran jalan, lalu dari atas kendaraan sang perempuan berjaket kuning segera beranjak bangun membagikan masker kepada siapa saja yang melintas kebetulan.
Setelah itu, warga yang di tangannya menggenggam erat masker pemberian, lantas ikut membalas senyuman, sungguh merupakan momen yang menghangatkan.
Lalu pada pagi hari berikutnya, bupati dan rombongan kecilnya kembali terlihat sibuk, tangan mereka menggenggam sebuah kemasan, isinya beras dan kawan-kawan, dibagikan kepada mereka yang membutuhkan.
Mulai dari saat itu, sejak dimulainya pandemi, ia yang dikenal dengan sebutan Bupati Tiwi, memulai pagi harinya dengan kegiatan lapangan, turun ke jalan, menjalankan program jaring pengaman, seakan ingin menyampaikan pesan kepada seluruh lapisan bahwa ia akan selalu ada di garda terdepan.
Ibu di rumah
Menjadi seorang ibu di rumah, sekaligus seorang kepala daerah tentu merupakan pengalaman yang tidak mudah, terutama di tengah terjadinya wabah.
Ada semacam relasi yang kuat dan melekat yang menghubungkan kedua peran tersebut, yakni keduanya membutuhkan hati yang lapang dan jiwa yang tidak mudah rapuh.
Saat terjadi guncangan di dalam rumah, seorang ibu biasanya menjadi yang paling perkasa yang menawarkan pelukan hangat bagi seluruh anggota keluarga dan menjaga agar semua baik-baik saja.
Kini, sang ibu yang juga kebetulan merupakan seorang Bupati, tentu juga harus menyisakan pelukan hangat itu, di tengah wabah yang melanda sebagian warganya, wabah yang dikenal dengan istilah pagebluk.
Ia perlu memberikan harapan yang tinggi bahwa semuanya akan bisa dihadapi dengan doa dan kedisiplinan diri.
Seorang pemimpin tentu harus terlihat kuat, agar seluruh warga setempat semangat melewati masa-masa berat.
Kendati demikian, sebagai seorang manusia, ia terkadang juga memiliki rasa takut, namun semangatnya tak surut, ia serahkan semuanya pada Sang Pencipta, sambil tetap berusaha menjaga kesehatan diri dan juga keluarga.
"Saya juga sesekali mengkonsumsi vitamin dan berupaya menjaga asupan makanan bergizi. Bergizi ini bukan berarti makanan yang harus mewah, sayuran dan buah-buahan yang banyak dibudidayakan para petani di Purbalingga, itu menjadi menu keseharian saya dan keluarga," katanya.
Dia selalu berupaya tetap sehat, agar semua langkah dan program penanganan COVID-19 di Kabupaten Purbalingga dapat terus berjalan dengan baik.
Kendati berjanji akan melakukan yang terbaik, namun ia juga berharap dan meminta agar warga ikut berperan aktif.
"Pemudik yang sudah terlanjur datang ke Purbalingga, dianjurkan untuk mengarantina diri di rumah masing-masing selama 14 hari. Jika ada keluhan kondisi badan atau merasa sakit segera melapor," katanya.
Hal itu penting karena enam pasien positif COVID-19 di Purbalingga yang terdata hingga Senin (20/4) semuanya dari kota besar episentrum penyebaran.
"Sekali lagi saya tegaskan, bukan bermaksud memojokkan para pemudik, tetapi mari kita bekerjasama untuk mencegah penyebaran COVID-19. Yang kita hadapi sekarang ini, musuhnya tidak terlihat, musuhnya virus maka ikutilah semua imbauan pemerintah, jaga jarak fisik, pakai masker dan berdiam di rumah," katanya.
Secara teknis, untuk mengatasi COVID-19 dirinya terus berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan juga memperhatikan imbauan dari Pemerintah Pusat.
Sementara itu, Sosiolog dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Tyas Retno Wulan mengatakan peran perempuan memang sangat dominan dalam garda depan penanganan COVID-19.
Dia menyebutkan meskipun belum ada data secara nasional, namun diyakininya banyak perempuan yang tengah berjuang di garda terdepan, mulai dari tenaga kesehatan hingga mereka yang masih bekerja di bidang pelayanan.
"Hal itu menunjukkan bahwa perempuan memang memiliki kekuatan," katanya.
Dia juga menilai bahwa kekuatan-kekuatan yang ditunjukkan perempuan melalui berbagai peran strategis dalam upaya penanganan COVID-19 juga telah makin mendorong solidaritas sosial.
Belakangan ini, kata dia, bermunculan gerakan-gerakan sosial dalam bentuk solidaritas sosial yang dipicu beberapa hal dan salah satunya dipicu oleh peran dominan perempuan.
"Itulah istimewanya Indonesia, dalam kondisi pandemi seperti ini banyak orang yang justru makin peduli dengan orang lain. Kohesi sosial menjadi sangat kental dan sangat kuat," katanya.
Sosok-sosok perempuan yang berjibaku di tengah upaya penanganan COVID-19 tentu menjadi salah satu magnet yang ikut mendorong masifnya solidaritas sosial.
Berbicara tentang kekuatan, tentu saja hal itu yang saat ini paling dibutuhkan.
Pada saat ini, pagebluk memang masih menjadi mimpi buruk, dan kita semua masih terus berharap semua akan cepat berlalu tanpa menyisakan lebih banyak pilu.
Teruslah tekankan, bahwa akan ada terang di ujung lintasan, maka teruslah saling bergenggaman dengan berani agar pandemi dapat segera pergi.*