Digitalisasi sertifikat persempit ruang gerak mafia tanah
Kamis, 18 Februari 2021 19:03 WIB
Kepala Pusat Riset IHUDRC Undip Semarang Dr.-Ing. Asnawi Manaf, S.T. ANTARA/Kliwon
Semarang (ANTARA) - Pakar perumahan Asnawi Manaf mendukung rencana Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional yang akan mengubah sertifikat tanah yang berbentuk buku menjadi elektronik karena digitalisasi ini bakal mempersempit ruang gerak mafia tanah.
"Jadi, sebenarnya latar belakang dari upaya pemerintah sangat positif untuk mendigitalkan sertifikat tanah milik masyarakat, pemerintah, BUMN, maupun pemegang hak guna usaha dalam rangka menghindari adanya konflik pertanahan," kata Dr.-Ing. Asnawi Manaf, S.T. di Semarang, Kamis.
Asnawi Manaf mengemukakan hal itu ketika merespons pernyataan Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil terkait dengan digitalisasi sertifikat tanah. Namun, Pemerintah tidak akan terburu-buru melakukannya.
Sofyan Djalil menjelaskan bahwa penggantian sertifikat tanah menjadi elektronik merupakan upaya Kementerian ATR/BPN agar data soal lahan menjadi terintegrasi, mencegah sengketa, sekaligus menghilangkan praktik mafia tanah.
Lebih lanjut Asnawi Manaf yang juga Kepala Pusat Riset Teknologi Inclusive Housing and Urban Development Research Center (IHUDRC) Universitas Diponegoro mengemukakan bahwa kepentingan publik terkadang sulit untuk merealisasikannya karena para mafia tanah ini.
Baca juga: BPN Kudus mulai menerbitkan e-sertifikat tanah untuk hak tanggungan
Menjawab kenapa itu sampai terjadi? Menurut Asnawi, karena bangsa ini belum memiliki sebuah data pertanahan yang kredibel. Artinya, data yang valid, misalnya terkait dengan titik koordinatnya di mana, lalu kepemilikannya siapa, kemudian data ini masuk dalam sistem pertanahan.
Dengan demikian, lanjut Asnawi, tidak benar digitalisasi ini lantas Badan Pertanahan Nasional (BPN) menarik sertifikat tanah milik masyarakat, kemudian jaminan kepemilikan lahan menjadi membingungkan.
Bahkan, kata Asnawi, Menteri Sofyan Djalil sudah menjelaskan bahwa masyarakat tetap boleh menyimpan buku sertifikat meskipun sudah beralih menjadi sertifikat elektronik.
Asnawi melanjutkan bahwa bangsa ini sudah memasuki Industri 4.0 (four point zero), bahkan sebentar lagi masuk Industri 5.0 (five point zero), sehingga sistem pertanahan di negeri ini harus berubah.
Jika digitalisasi sertifikat ini sudah berjalan sesuai dengan harapan, Pemerintah tidak akan mengalami kesulitan ketika membutuhkan lahan untuk kepentingan publik, perumahan bagi masyarakat kurang mampu, infrastruktur publik, rumah sakit, jalan, dan sebagainya.
"Ini semua memerlukan lahan. Akan tetapi, karena Pemerintah tidak tahu siapa pemilik lahan di suatu lokasi, tempat yang akan dibangun, akhirnya muncullah spekulan, spekulasi tanah," kata Asnawi yang juga anggota Majelis Wali Amanat (MWA) Undip Semarang.
Baca juga: BPN Boyolali selesaikan sertifikat 8.158 bidang tanah
Padahal, lanjut dia, pemilik tanah yang asli sebetulnya tidak mempermasalahkan lahannya untuk kepentingan umum, asal mereka mendapatkan ganti untung. Akan tetapi, karena ada mafia, kemudian permasalahan yang dihadapi sulit sekali diurai benang merahnya.
Menurut Asnawi, mafia itu kemudian membebaskan tanah milik masyarakat dengan mengklaim bahwa tanah itu milik mereka dan sebagainya. Klaim seperti ini sangat sulit kalau tidak memiliki data pertanahan.
Ia menekankan bahwa digitalisasi ini sangat penting karena masyarakat yang memiliki lahan terjamin, kemudian tidak ada orang lain yang memanfaatkan kepemilikan lahan mereka untuk kepentingan tertentu.
Di sisi lain, Pemerintah akan mudah menelusuri sekaligus cepat mengambil keputusan karena ketersediaan data yang kredibel, kemudian mengganti untung pemilik-pemilik tanah asli.
"Mari dukung semua ini dengan sebuah keyakinan bahwa negara hadir dalam rangka memberikan kesejahteraan buat rakyat Indonesia," kata Asnawi.
Baca juga: Pesawat N219 raih Type Certificate laik terbang
Baca juga: Sinergi dan optimalisasi aset, PLN terima 1.222 sertifikat
"Jadi, sebenarnya latar belakang dari upaya pemerintah sangat positif untuk mendigitalkan sertifikat tanah milik masyarakat, pemerintah, BUMN, maupun pemegang hak guna usaha dalam rangka menghindari adanya konflik pertanahan," kata Dr.-Ing. Asnawi Manaf, S.T. di Semarang, Kamis.
Asnawi Manaf mengemukakan hal itu ketika merespons pernyataan Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil terkait dengan digitalisasi sertifikat tanah. Namun, Pemerintah tidak akan terburu-buru melakukannya.
Sofyan Djalil menjelaskan bahwa penggantian sertifikat tanah menjadi elektronik merupakan upaya Kementerian ATR/BPN agar data soal lahan menjadi terintegrasi, mencegah sengketa, sekaligus menghilangkan praktik mafia tanah.
Lebih lanjut Asnawi Manaf yang juga Kepala Pusat Riset Teknologi Inclusive Housing and Urban Development Research Center (IHUDRC) Universitas Diponegoro mengemukakan bahwa kepentingan publik terkadang sulit untuk merealisasikannya karena para mafia tanah ini.
Baca juga: BPN Kudus mulai menerbitkan e-sertifikat tanah untuk hak tanggungan
Menjawab kenapa itu sampai terjadi? Menurut Asnawi, karena bangsa ini belum memiliki sebuah data pertanahan yang kredibel. Artinya, data yang valid, misalnya terkait dengan titik koordinatnya di mana, lalu kepemilikannya siapa, kemudian data ini masuk dalam sistem pertanahan.
Dengan demikian, lanjut Asnawi, tidak benar digitalisasi ini lantas Badan Pertanahan Nasional (BPN) menarik sertifikat tanah milik masyarakat, kemudian jaminan kepemilikan lahan menjadi membingungkan.
Bahkan, kata Asnawi, Menteri Sofyan Djalil sudah menjelaskan bahwa masyarakat tetap boleh menyimpan buku sertifikat meskipun sudah beralih menjadi sertifikat elektronik.
Asnawi melanjutkan bahwa bangsa ini sudah memasuki Industri 4.0 (four point zero), bahkan sebentar lagi masuk Industri 5.0 (five point zero), sehingga sistem pertanahan di negeri ini harus berubah.
Jika digitalisasi sertifikat ini sudah berjalan sesuai dengan harapan, Pemerintah tidak akan mengalami kesulitan ketika membutuhkan lahan untuk kepentingan publik, perumahan bagi masyarakat kurang mampu, infrastruktur publik, rumah sakit, jalan, dan sebagainya.
"Ini semua memerlukan lahan. Akan tetapi, karena Pemerintah tidak tahu siapa pemilik lahan di suatu lokasi, tempat yang akan dibangun, akhirnya muncullah spekulan, spekulasi tanah," kata Asnawi yang juga anggota Majelis Wali Amanat (MWA) Undip Semarang.
Baca juga: BPN Boyolali selesaikan sertifikat 8.158 bidang tanah
Padahal, lanjut dia, pemilik tanah yang asli sebetulnya tidak mempermasalahkan lahannya untuk kepentingan umum, asal mereka mendapatkan ganti untung. Akan tetapi, karena ada mafia, kemudian permasalahan yang dihadapi sulit sekali diurai benang merahnya.
Menurut Asnawi, mafia itu kemudian membebaskan tanah milik masyarakat dengan mengklaim bahwa tanah itu milik mereka dan sebagainya. Klaim seperti ini sangat sulit kalau tidak memiliki data pertanahan.
Ia menekankan bahwa digitalisasi ini sangat penting karena masyarakat yang memiliki lahan terjamin, kemudian tidak ada orang lain yang memanfaatkan kepemilikan lahan mereka untuk kepentingan tertentu.
Di sisi lain, Pemerintah akan mudah menelusuri sekaligus cepat mengambil keputusan karena ketersediaan data yang kredibel, kemudian mengganti untung pemilik-pemilik tanah asli.
"Mari dukung semua ini dengan sebuah keyakinan bahwa negara hadir dalam rangka memberikan kesejahteraan buat rakyat Indonesia," kata Asnawi.
Baca juga: Pesawat N219 raih Type Certificate laik terbang
Baca juga: Sinergi dan optimalisasi aset, PLN terima 1.222 sertifikat
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : Sumarwoto
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Terpopuler - Hukum dan Kriminal
Lihat Juga
Kos-kosan di Kelurahan Mewek Purbalingga jadi lokasi prostitusi daring, polisi tangkap dua orang
13 November 2024 15:16 WIB