Berbagai upaya pun dilakukan oleh pemerintah untuk mengendalikan gejolak kenaikan harga beras di pasaran, salah satunya melalui operasi pasar seperti yang digelar Pemerintah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, sejak tanggal 28 Januari 2023.
Operasi pasar tersebut dilakukan karena harga beras kualitas medium di Banyumas yang sebelumnya berkisar Rp9.000-Rp10.000 per kilogram, kini telah mencapai kisaran Rp12.500-Rp13.000/kg.
Pemkab Banyumas menggandeng Perum Bulog Cabang Banyumas dalam penyediaan beras kualitas medium dengan harga terjangkau untuk didistribusikan melalui operasi pasar yang melibatkan pedagang di pasar.
Pedagang membeli beras kualitas medium dari Bulog dengan harga Rp8.500/kg. Berdasarkan ketentuan, beras kualitas medium tersebut seharusnya dijual dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp9.450/kg. Namun, atas dasar permintaan dari Pemkab Banyumas, beras kualitas medium tersebut dijual dengan harga Rp9.000/kg agar konsumen terbantu dan pedagang masih mendapat keuntungan.
Selain itu, Perum Bulog Cabang Banyumas juga menyediakan beras Bulog premium yang dijual sebesar Rp12.000/kg dan beras IR premium sebesar Rp11.500/kg.
Kendati Pemkab Banyumas mengklaim operasi pasar tersebut berhasil menurunkan harga beras medium di pasaran hingga kisaran Rp11.500/kg, tapi dari pantauan di lapangan harga beras masih relatif tinggi.
Bahkan, berdasarkan data yang disajikan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, Senin (13/2), harga beras di pasar tradisional Kabupaten Banyumas seperti Pasar Manis Purwokerto masih bertahan di kisaran Rp12.500-Rp13.000/kg sedangkan beras kualitas premium mencapai di atas Rp13.500/kg.
Salah seorang pedagang di Pasar Manis, Enjup mengakui harga beras medium maupun premium masih bertahan tinggi meskipun Pemkab Banyumas dan Bulog Cabang Banyumas telah menggelar operasi pasar dalam beberapa waktu terakhir. "Hal itu karena konsumen lebih suka beli beras yang bukan OP (operasi pasar)," katanya menjelaskan.
Terkait dengan hal itu, Pimpinan Perum Bulog Cabang Banyumas ,Rasiwan, mengatakan bahwa anggapan pedagang tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan, karena saat sekarang yang dicari konsumen justru beras medium dari Bulog yang kualitasnya baik dan harganya terjangkau.
Secara psikologis, di pasar yang digelontor beras medium kualitas baik, maka pedagang pasti berpikir jika jual beras dengan harga mahal tentu tidak akan laku.
Jauh hari sebelum Pemkab Banyumas menggelar operasi pasar, Bulog Cabang Banyumas bahkan telah melaksanakan program stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) dengan menggelontorkan beras kualitas medium ke pasar-pasar tradisional, khususnya pasar yang dipantau oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Akan tetapi, kegiatan SPHP maupun operasi pasar tersebut belum mampu menekan gejolak kenaikan harga beras. Oleh karena itu, muncul dugaan adanya pedagang "nakal" yang lebih menawarkan beras yang bukan OP dengan harapan mendapatkan keuntungan lebih besar.
Jika menjual beras OP, pedagang hanya mendapatkan keuntungan Rp500/kg dari beras kualitas medium dan harus menyediakan kantong plastik atau tas kresek sebagai wadah beras yang dibeli konsumen.
Pakar pertanian dari Universitas Jendaral Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Totok Agung Dwi Haryanto menduga adanya pihak yang berkepentingan dan memiliki stok beras dalam jumlah banyak di dalam gudang, tetapi ingin harga komoditas pangan itu tetap tinggi.
Hal itu dilakukan karena pihak yang berkepentingan tersebut sudah nyaman dengan tingginya harga beras selama ini, tapi tiba-tiba ada beras yang harganya lebih rendah, sehingga kenyamanannya terganggu. "Mereka mungkin kemudian berusaha agar beras operasi pasar itu tidak terjual dengan lancar. Bisa saja terjadi seperti itu," ujar Guru Besar Fakultas Pertanian Unsoed itu.
Ketersediaan beras
Terkait dengan ketersediaan beras di Tanah Air, Prof Totok mengatakan bahwa berdasarkan pemberitaan, pemerintah telah memutuskan untuk impor beras sebanyak 500 ribu ton dan hingga saat ini sudah datang sekitar 300 ribu ton.
Walaupun beras impor tersebut sudah didistribusikan ke berbagai daerah termasuk Bulog Cabang Banyumas yang mendapat alokasi sebanyak 2.000 ton, harga beras medium di pasaran masih belum mengalami penurunan secara signifikan.
Oleh karena itu, dia menilai satu hal yang harus dibenahi adalah sinkronisasi sumber data yang digunakan untuk membuat keputusan pemerintah. Kementerian Pertanian dan juga instansi pemerintah lainnya, diharapkan memanfaatkan data-data dari BPS.
Kendati demikian, Perum Bulog menyatakan bahwa ketersediaan beras di Indonesia belum mencukupi. Pernyataan tersebut berbasis pada tidak adanya stok beras yang ada di Bulog karena harga pembelian yang ditetapkan oleh pemerintah lebih rendah dari harga pasar.
"Alasan tidak adanya stok beras itu kemudian menyebabkan pemerintah mengambil keputusan untuk melakukan impor. Jadi persoalannya ada di kebijakan yang kurang harmonis di dalam menggunakan basis data untuk mengambil kebijakan itu," kata Prof Totok.
Lebih lanjut, dia mengatakan jika beras impor tersebut sudah didistribusikan ke pasar untuk dijual dengan harga yang lebih murah dari pasaran, masyarakat dipastikan akan membelinya. Sebab, dalam kondisi ekonomi masyarakat yang belum pulih secara maksimal pascapandemi serta belum datangnya masa panen raya, beras dari pemerintah yang dijual murah dapat dipastikan akan diburu oleh masyarakat.
Akan tetapi yang paling penting, Bulog sebagai lembaga yang mendapat mandat dari negara untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan pangan, khususnya beras, di tengah masyarakat, diberi keleluasaan dalam menentukan harga beli beras dari petani.
Dengan demikian, Bulog tidak hanya berdasarkan harga pokok pembelian pemerintah, tetapi harus mempertimbangkan harga pasar, sehingga tidak ada alasan Bulog tidak punya cadangan beras yang disebabkan tidak bisa membeli beras petani karena harga pasar lebih tinggi dari harga yang ditetapkan oleh pemerintah.
Jika hal itu bisa dilaksanakan, kata Prof Totok, setiap saat Bulog memiliki cadangan beras yang mencukupi dan tidak ada alasan apa pun yang menyebabkan badan usaha milik negara (BUMN) bidang pangan tersebut tidak memiliki cadangan beras.
Selain itu, Bulog juga tidak perlu "bermain-main" dengan beras premium (membeli beras premium, red.), cukup dengan beras medium karena yang paling banyak dibutuhkan oleh masyarakat adalah beras medium. "Jadi, ini yang perlu disiapkan oleh pemerintah melalui Bulog adalah menjaga ketersediaan beras medium dan menjaga stabilitas harga beras medium," ucapnya.
Apabila Bulog terbukti sudah mampu menjaga stabilitas harga dan ketersediaan beras medium, maka kemudian nantinya bisa meningkat kepada penyediaan beras premium, bahkan beras yang lebih khusus lagi.
Menurut dia, harga pokok pembelian beras oleh pemerintah dapat digunakan oleh Bulog ketika kondisi perberasan yang stabil. Akan tetapi ketika kondisi perberasan sedang tidak stabil, Bulog sebaiknya diberi kewenangan untuk bisa mengajukan penyesuaian harga kepada pemerintah agar bisa membeli beras yang sedang tinggi.
Bahkan, Bulog memiliki mandat yang luar biasa dan mulia dari negara, sehingga mestinya BUMN itu tidak diberi kewajiban untuk mencari keuntungan. Lebih utama adalah menjalankan tugas negara untuk kesejahteraan rakyat. Jika Bulog mengambil keuntungan, akhirnya akan menjadi pedagang, sehingga misi utamanya tidak akan tercapai.
Oleh karena itu, Bulog harus menjadi pendekar yang tangguh. "Pendekar itu kan selalu membela rakyat, memiliki banyak jurus untuk bisa memenangkan pertarungan dalam melawan musuh-musuhnya, dan musuh-musuh Bulog kan sudah disebut sendiri, adanya kartel dan sebagainya," kata Prof Totok.
Sementara itu, terkait dengan harga pembelian gabah dan beras oleh Bulog, petani di Desa Glempang, Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap, Suwarjo berharap pemerintah bisa menyesuaikan harga pembelian gabah yang dilakukan oleh Perum Bulog di saat panen raya demi kesejahteraan petani, karena saat ini harga kebutuhan pokok masyarakat banyak yang naik.
Selain itu, pembelian gabah dan beras petani bisa dilakukan oleh Bulog ketika panen raya. Bulog diharapkan bisa bersaing dengan para tengkulak yang sering kali mempermainkan harga di pasaran.
Kini, petani hanya bisa berharap dari harga pembelian pemerintah (HPP) yang sedang dirumuskan oleh Badan Pangan Nasional. Petani berharap benar-benar terjadi penyesuaian dan dapat segera diterbitkan, karena masa panen raya diperkirakan akan berlangsung mulai Maret 2023.
Sebab, HPP gabah dan beras yang masih berlaku saat ini mengacu kepada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020, sehingga dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan perekonomian saat ini.