Solo (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) UNS  Surakarta Prof Agus Purwantoro menyoroti konflik yang terjadi di Palestina melalui pementasan Wayang Godhong.

"Melihat banyaknya daun yang tumbuh sama seperti banyaknya manusia yang hidup. Daun yang menguning dan jatuh gugur menggambarkan kematian manusia di penghujung hidupnya," kata Prof Agus Purwantoro yang akrab disapa Gus Pur itu di Solo, Jawa Tengah, Kamis.

Ia mengatakan masalah yang terjadi saat ini adalah manusia kerap menebang pohon dan memotong tanaman dengan daun yang masih hijau hanya untuk kepentingan pribadi dan berpotensi menciptakan kerugian alam.



"Dedaunan ini terpaksa jatuh di saat warna mereka masih hijau," katanya.

Penggambaran yang dijelaskannya, yakni mengenai kondisi Palestina. Ia mengatakan dedaunan hijau yang gugur ibarat anak-anak Palestina yang menjadi korban konflik dan peperangan.

"Banyaknya daun seperti manusia. Apabila daun menguning, maka akan gugur. Namun, kita melihat daun yang masih hijau dipotong. Sama seperti di Gaza, Palestina. Anak-anak terpaksa menjadi korban konflik di sana," katanya.

Sementara itu, pementasan tersebut juga dilakukannya pada acara The 5th Intersectoral Collaboration for Indigenous Religions (ICIR) 2023 di Kampus UNS, beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan Pementasan Wayang Godhong yang dilakukan itu berbeda dengan pentas pewayangan lainnya. Ia mengaku tidak mengubah daun menjadi tokoh-tokoh wayang dan mengambil cerita pewayangan tertentu.

"Saya lebih memilih isu-isu terkini dan menyesuaikannya dengan karakter setiap daun serta terbiasa membuat satu cerita baru untuk setiap pentas," katanya.

Sebelumnya, terkait ICIR, UNS berkesempatan menjadi tuan rumah The 5th ICIR 2023. Kegiatan tersebut mengangkat tema Democracy of the Vulnerable.



Sementara itu, Ketua Program Studi (Prodi) Agama dan Lintas Budaya atau Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Samsul Maarif mengatakan tema tersebut merupakan kelanjutan dari tema-tema ICIR sebelumnya yang berupaya untuk terus mendiskursuskan demokrasi secara kritis dan berkelanjutan.

"ICIR ke-5 ini berfokus pada suara-suara kelompok rentan yang hak, kepentingan, dan aspirasi kewargaannya jarang dibicarakan, apalagi diperhitungkan," katanya.

Ia mengatakan tujuan kegiatan tersebut untuk membuka ruang bagi penghayat kepercayaan, komunitas adat, penganut agama leluhur, minoritas agama dan gender, kelompok disabilitas, dan kelompok muda serta anak agar ide dan pengalaman mereka terkait demokrasi terwacanakan.

Baca juga: UNS targetkan dua medali emas pada Pimnas 2023