Kurang lebih pengertian kalimat Mbah Dargo yang nama lengkapnya Cokro Sudargo (84) tersebut adalah kesenian yang baik tidak bisa ditiru, sedangkan jika jelek tidak bisa dicela.

Kalimat Mbah Dargo dengan Bahasa Jawa ngoko itu terkesan begitu "sakti", membenam khususnya di lubuk kalangan seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang dan mungkin juga sebagian kalangan seniman, pemerhati seni, dan budayawan lainnya.

Mbah Dargo bukan siapa-siapa. Dia warga biasa yang tinggal di kawasan barat puncak Gunung Merbabu, di Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Istrinya, Salmi, telah meninggal dunia pada 2002. Mereka dikarunia dua anak laki-laki dengan 10 cucu. Saat ini Mbah Dargo dengan raut wajah dan badan masih menunjukkan sisa-sisa kekekaran sebagai petani gunung itu tinggal di rumah sederhana di dusunnya yang berudara sejuk.

Mbah Dargo tinggal bersama satu keluarga cucunya yang juga aparat desa setempat.

Kemungkinan karena usia Mbah Dargo yang makin uzur, sejak beberapa tahun terakhir, dia tak lagi terlihat hadir dalam berbagai agenda kesenian dan kebudayaan khususnya yang diselenggarakan Komunitas Lima Gunung.

Namun, saat seniman Magelang, Ardhi Gunawan, meninggal dunia dalam usai 49 tahun belum lama ini, Mbah Dargo terlihat dengan berbaju batik lengan panjang dan penutup kepala "iket" khas masyarakat Gunung Merbabu, hadir melayat di rumah duka di Kampung Dumpoh, Kelurahan Potrobangsan, Kota Magelang.

Mbah Dargo memanfaatkan kesempatan melayat itu untuk bertemu dan berbincang-bincang dengan sejumlah seniman, termasuk berjabat tangan tampak akrab dengan Pemimpin Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam Tegalrejo, Kabupaten Magelang yang juga budayawan Komunitas Lima Gunung, KH Muhammad Yusuf Chudlori.

Kalimat "sakti" Mbah Dargo itu memang sering diucapkannya melalui beberapa kali kesempatan berpidato dalam kegiatan kesenian dan kebudayaan Komunitas Lima Gunung yang dihadirinya beberapa tahun lalu.

Penyunting buku "Budaya Lima Gunung, Belum Tergantung Trias Politika", Dorothea Rosa Herliany dan Andreas Darmanto, menangkap kalimat "sakti" Mbah Dargo itu untuk menjadi "endorsement" buku kumpulan tulisan dari berbagai media massa tentang gerakan kebudayaan komunitas seniman petani itu.

Buku setebal 304 halaman itu dengan sampul depan bergambar patung batu karya seniman lereng Gunung Merapi, Ismanto, berjudul "Gunung Bersabda, You Cocot Kencono?", sedangkan di halaman akhir berupa puisi karya WS Rendra berjudul "Barangkali Karena Bulan" ditulis di Warangan, Juli 2003.

Kesenian Harus Dijalankan
"'Mbahmu saiki wis tuwa, akeh nang ngomah. Kesenian kudu tetep mlaku, sing enom-enom neruske. Seni kuwi dadi uripe wong ndesa'," kata Mbah Dargo, ketika ditemui ANTARA pada suatu sore beberapa waktu lalu di teras rumahnya di kawasan Gunung Merbabu.

Kira-kira terjemahan atas kalimat terkesan sederhana dalam bahasa Jawa Mbah Dargo itu sebagai berikut, "Kakekmu ini sudah tua, lebih banyak di rumah. Kesenian harus terus dijalankan, generasi muda melanjutkan, karena kesenian itu menjadi bagian penting kehidupan orang desa".

Ketika ditanya soal kalimat "'Seni kuwi nek apik ora iso ditiru, nek elek ora iso dicacat'," Mbah Dargo seolah tidak bersedia menjelaskan secara panjang lebar dan terkesan membiarkan siapa saja untuk bermain sendiri dalam interpretasi pikiran masing-masing.

Namun, dengan jari telunjuk tangan kanannya yang mengacung ke atas, raut muka serius, dan kedua bola mata melotot, lelaki tua tersebut dengan suara lantang dan keras seperti kebiasaan pembawaan hariannya itu mengatakan, "Yo ngono kuwi pancen e", yang maksudnya memang kesenian yang baik tidak bisa ditiru dan yang jelek tidak bisa dicela.

Maka, tatkala belum lama ini Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo mengeluarkan pernyataan terkesan menohok terkait pentas jaran kepang terjelek di dunia dalam suatu acara di kawasan Gunung Tidar Kota Magelang, barangkali sebagian kecil seniman setempat menjadi ingat terhadap kalimat "sakti" Mbah Dargo.

"Kalimat Mbah Dargo itu memang tak terlupakan," kata seorang pemuka Komunitas Lima Gunung, Riyadi.

Satu masalahnya, katanya, Gubernur Bibit Waluyo bisa dipastikan tidak pernah mengetahui siapa Mbah Dargo yang berkalimat "sakti" hingga membenam terutama di kalangan seniman petani Komunitas Lima Gunung itu, karena Mbah Dargo hanyalah sosok masyarakat biasa yang tinggal di satu dusun di kawasan Gunung Merbabu.

Mbah Dargo pun, kata Riyadi yang juga pemimpin Padepokan Wargo Budoyo Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, di kawasan Gunung Merbabu itu, kemungkinan besar juga tidak mengetahui siapa nama Gubernur Jateng saat ini, apalagi pernah bertemu langsung dengan Bibit Waluyo.

"Tetapi, kami para seniman gunung ini bisa mengerti maksud kalimat 'sakti' Mbah Dargo. Itu kalimat pupuk untuk kami terus belajar menghargai dan mengapresiasi dengan baik dan arif terhadap kesenian," katanya.

Ia menyebut, pementasan suatu kesenian rakyat bukan sebatas soal pertunjukkan itu sebagai hal yang baik atau buruk.

Setiap kesenian rakyat, katanya, memiliki kandungan filosofi yang tinggi terutama yang menyangkut nilai-nilai kehidupan sehari-hari masyarakat pendukungnya di kawasan pedesaan.

Bagi masyarakat dusun dan gunung, katanya, suatu pentas kesenian rakyat juga menyangkut kegembiraan hati baik secara personal maupun komunitas.

"Kesenian rakyat itu bukan soal baik atau jelek. Mengukurnya kesenian itu jelek bagaimana? Saya merinding kalau kesenian jaran kepang dibilang terjelek di dunia," katanya.

Ia menyebut kesenian rakyat selalu berbasis orang desa dan pementasannya pun untuk membuat hati gembira.

Maka, mementaskan suatu kesenian rakyat dalam suatu momentum tidak bisa asal-asalan, begitu pula mengapresiasi suatu kesenian rakyat juga bukan sekadar menyatakan soal baik atau jelek.

Kalimat "sakti" Mbah Dargo, "Seni kuwi nek apik ora iso ditiru, nek elek ora iso dicacat", boleh jadi sebagai bekal kearifan siapa saja dalam mengapresiasi suatu kesenian rakyat.