Setelah melewati ruas jalan sepanjang sekitar satu kilometer di Desa Mangunsoko, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang yang kondisinya rusak parah, terutama akibat lalu lintas truk pengangkut pasir dari sejumlah areal penambangan di kawasan itu, Sang Gubernur pun tiba di gedung terbuka, di utara alur Sungai Senowo yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi.

Ia hadir untuk berdialog hal ihwal pertanian dengan 76 mahasiswa berbagai fakultas, dari sembilan perguruan tinggi di provinsi setempat yang sedang menjalani program "Live-In Merapi", di kawasan barat daya puncak Gunung Merapi.

Program itu sebagai kerja sama sejak beberapa tahun terakhir, antara Dinas Pertanian Jateng dan tim Edukasi Gubug Selo Merapi (E-GSPi) Dusun Grogol, Desa Mangunsoko. Pelaksanaan program tersebut pada 2014, berlangsung 16-20 Juni.

Para mahasiswa tinggal di berbagai rumah warga di kawasan setempat selama menjalani program "Live-In Merapi". Mereka, antara lain menjalani hidup bersama sehari-hari dengan aktivitas petani, diskusi tentang lingkungan dan pertanian, pentas kesenian rakyat, serta susur alam di kawasan barat daya dari puncak gunung berapi yang pada akhir 2010 meletus hebat disusul dengan banjir lahar hujan secara intensif hingga pertengahan 2011 itu.

"'Jawah deres malah sae' (Hujan deras malah bagus, red.)," kata Sitras Anjilin, pimpinan Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, yang sore itu menjadi pengendang untuk anggotanya dalam performa gerak dan teater beriring tabuhan gamelan, sebagai sajian pentas kesenian dalam pertemuan mahasiswa dengan Sang Gubernur.

Tembang berbahasa Jawa, "Lumbung Desa", dilantunkan bersama-sama para penabuh gamelan, membuka pementasan mereka yang sehari-hari bergelut dengan lingkungan pertanian di kawasan itu.

Gubernur Ganjar Pranowo didampingi sejumlah pejabat duduk di kursi utama, sedangkan para mahasiswa di dingklik yang ditata membentuk setengah lingkaran di dalam GSPi. Mereka bersama-sama menyimak sajian performa para seniman petani Padepokan Tjipto Boedojo, dalam durasi sekitar 20 menit itu.

Sejumlah orang mengenakan pakaian dan alat-alat pertanian, masuk ke tengah gedung GSPi dengan instalasi bedeng pertanian yang penuh aneka tanaman, seperti padi, jagung, singkong, dan berbagai sayuran.

"'Lumbung desa protani padha makarya. Ayo co! Pupuk pari nata lesung nyandhak alu. Ayo yu! Padha nutu dadi beras nuli adang. Ayo kang! Dha tumandang nyambut gawe beberangan'," begitu syair tembang itu yang kira-kira maksudnya sebagai gambaran para petani menggarap persawahan mereka secara bersama-sama untuk mencukupi kehidupan sehari-hari.

Selagi para petani itu memainkan adegan musyawarah mereka untuk membicarakan produksi pertaniannya, mereka mendapat kabar bahwa lahan pertaniannya didatangi aneka binatang. Sejumlah pemain lainnya, berproperti aneka satwa mirip burung dan monyet, memakan tanaman milik petani itu. Para petani pun digambarkan sebagai marah dan menangkap binatang-binatang tersebut, karena dianggap mengganggu pertanian.

Dari dalam tanah, muncul sosok sebagai gambaran tanah yang dimainkan oleh seorang pemain bernama Mastur. Ia berkata-kata dengan nada prihatin dan kecewa karena tanah sebagai lahan pertanian telah digarap para petani dengan cara-cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip organik dan ramah lingkungan.

Puncak dramaturgi kisah itu, seakan ditandai dengan gerak para seniman yang memainkan sosok satwa, kemudian menjadi ancaman keselamatan hidup para petani. Tabuhan gamelan secara cepat dan keras, dengan hujan yang masih terus mengguyur deras di luar gedung, membuat suasana pementasan menjadi seakan dramatis.

Kisah itu ditutup dengan kehadiran di arena pementasan, seorang perempuan (Sinta Fitri Novia) mengenakan pakaian warna putih dengan cunduk sebatang padi, sebagai gambaran Dewi Sri. Dalam alam pertanian Jawa, Dewi Sri sebagai lambang dewi kesuburan.

Dewi Sri diceritakan hadir dalam lakon tersebut, memberi berbagai wejangan kepada petani agar mengolah pertanian mereka dengan menggunakan cara-cara yang ramah lingkungan.

Hujan deras, terus mengguyur kawasan itu, selagi pentas performa itu berlangsung. Gubernur Ganjar Pranowo mengapresiasi pergelaran yang kental makna disajikan para petani kawasan Merapi itu.

"'Niku wau lakone nopo' (Pementasan itu lakonnya apa, red.)," tanya Ganjar yang lalu dijawab secara singkat oleh Sitras dari tengah para penabuh gamelan, "Temanya 'Gejolak Alam'".

Pementasan mereka bagaikan paparan petani kepada mahasiswa peserta "Live-In Merapi" dan Sang Gubernur, tentang keadaan dunia pertanian yang rusak saat ini, antara lain ditandai tanah tidak lagi subur dan satwa yang tak mendapatkan bagian makanan dari alam, karena pengolahan pertanian selama ini semata-mata untuk peningkatan produksi, tanpa memperhatikan kepentingan pelestarian alam.

Sejumlah penyebabnya, adalah penggunaan bahan kimia secara berlebihan yang merugikan lingkungan, kurang optimal pendampingan petani oleh petugas penyuluh, dan kelemahan petani dalam memanfaatkan kemajuan teknologi pertanian.

Dalam dialog, sejumlah mahasiswa yang berasal dari berbagai fakultas itu, menjadi semacam juru bicara para petani kepada Sang Gubernur. Mereka secara terbuka dan dalam suasana bernuansa hangat meski hujan deras mengguyur, menyampaikan berbagai persoalan menyangkut pertanian setempat kepada orang nomor 1 dalam pemerintahan di Jateng itu.

Mereka menyampaikan kondisi prihatin para petani, termasuk di kawasan Merapi, antara lain menyangkut harga panenan yang tidak berpihak kepada petani, minimnya modal mereka untuk mengolah pertanian, penggunaan secara berlebihan pupuk kimia yang membuat tanah menjadi rusak, minimnya inovasi pertanian, pentingnya optimalisasi peran petugas penyuluh pertanian, dan kondisi jalan desa yang rusak.

Sang Gubernur yang saat dialog tersebut mengenakan pakaian motif batik itu pun dengan hangat merespons berbagai masukan dari para mahasiswa.

Ihwal yang disampaikan Sang Gubernur, antara lain tentang pentingnya kedaulatan pangan dan perlunya mahasiswa dengan suka hati menjadi pendamping petani sambil belajar tentang kehidupan pertanian.

Selain itu, Gubernur Ganjar juga mendorong mahasiswa untuk makin tekun belajar tentang lingkungan dan pertanian, melakukan riset pertanian, membaca berbagai produk perundang-undangan tentang pertanian.

Mereka yang sekarang menjadi mahasiswa fakultas ilmu sosial dan ilmu politik juga didorong agar kelak mampu membuat kebijakan dan undang-undang pertanian yang berpihak dan menyejahterakan petani.

"Yang mahasiswa fisip, ketika membuat politik pertanian, harus riset juga tentang pola makan. Mengapa masyarakat beralih makan beras. Teknologi pertanian menjadi penting untuk mengembalikan hara tanah, agar subur untuk pertanian. Perang ke depan adalah rebutan energi dan pangan. Pikirkan ekonomi pertanian dalam arti luas," katanya.

Ia juga mengemukakan pentingnya mereka berperan penting dalam berbagai upaya untuk mengembalikan kehidupan pertanian sebagai jalan hidup yang membanggakan.

"Pentas tadi membawa pesan menarik. Selama ini banyak mahasiswa fakultas pertanian tidak mau jadi petani. Ini pekerjaan rumah ke depan. Petani tidak lagi bergengsi, tidak keren, mencangkul dianggap kasar, tangan 'ngapal' (kulit tangan mengeras, red.). Jadi petani karena terpaksa, sementara kondisinya minus," katanya.

Di berbagai negara maju, katanya, kehidupan masyarakat sebagai petani, menjadi jalan yang membanggakan, melahirkan berbagai inovasi, dan memajukan teknologi pertanian.

"Itu muncul karena mereka selalu menghadapi tantangan alam," katanya.

Pada kesempatan itu, Sang Gubernur mendorong para mahasiswa untuk mulai gemar memanfaatkan waktu untuk magang pertanian, meskipun mereka berasal dari berbagai fakultas.

"'Learning by doing' (Belajar sambil bekerja, red.). Itu penting untuk anda lulus. Renungkan apa yang saya sampaikan ini. Anda mau diam, jadi penonton dan menggerutu, atau mau mengambil peran," kata Sang Gubernur.

Pertemuan dialogis para mahasiswa dengan Sang Gubernur hingga bakda maghrib itu pun, ditutup dengan santap bersama menu nasi dan sayuran dalam bungkusan daun pisang secara khas, karya petani lereng Gunung Merapi yang dinamai "Nasi Doa".