Eka Rahayuningsih, Lentera kecil dari Rumah Anak SIGAP
Semarang (ANTARA) - Semarang siang itu terasa lebih sejuk setelah hujan semalam. Di sebuah rumah sederhana di Kampung Gisikrejo, Bandarharjo yang terletak dekat dengan bibir pantai Semarang Utara Eka Rahayuningsih sedang menemani seorang ibu muda yang terlihat resah. Sang ibu, dengan suara lirih, mengeluhkan bayinya yang menolak makan.
"Kalau sudah 30 menit, berhenti dulu, Bu. Kadang mereka butuh waktu untuk merasa nyaman. Jangan dipaksa, ya," kata Eka Rahayuningsih yang seolah menjadi oase di tengah kebingungan sang ibu.
Bayi atau anak yang menolak makan atau dikenal gerakan tutup mulut (GTM), kata Eka Rahayuningsih, merupakan tantangan besar bagi para orang tua dan ia yakin bisa berubah dengan pendekatan penuh kasih dan kesabaran.
"Ada satu anak di sini, awalnya sama sekali tidak mau makan kalau tidak disuapi. Tapi sekarang, dia sudah bisa makan sendiri di usia satu tahun," kenangnya dengan senyum bangga.
Momen-momen kecil seperti itu, bagi Eka, merupakan hadiah terindah dalam pekerjaannya yang merupakan salah satu fasilitator di Rumah Anak SIGAP atau Siapkan Generasi Anak Berprestasi.
Rumah Anak SIGAP merupakan pusat layanan pengasuhan dan pembelajaran dini untuk anak usia 0–3 tahun. Program yang diinisiasi Tanoto Foundation, Pemerintah Kota Semarang, dan didukung oleh mitra implementasi Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata (YKKS) ini menjadi tempat di mana Eka mencurahkan tenaga dan hatinya untuk membantu anak-anak dan orang tua di komunitasnya.
Belajar dari Tangisan Anak
Saat pertama kali bergabung di Rumah Anak SIGAP setahun lalu, Eka tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika anak-anak kecil menangis tanpa henti.
"Ada seorang anak, setiap kali datang dia pasti menangis. Awalnya, saya merasa ragu. Apakah saya bisa membuatnya merasa nyaman?" kenangnya.
Pendekatan penuh kasih dan kesabaran, lanjut Eka, berubah manis, anak tersebut pun mulai berani dan membuka diri.
"Bulan pertama, dia selalu menangis. Tapi pelan-pelan, saya menyanyikan lagu untuknya, menggenggam tangannya, sampai akhirnya dia mulai tersenyum dan memeluk saya. Itu momen yang membuat saya yakin bahwa pekerjaan ini benar-benar berarti," cerita Eka, suaranya bergetar tanda pengalaman itu masih melekat di hatinya.
Di Rumah Anak SIGAP, anak-anak dibagi dalam kelompok sesuai usia. Ada Bintang Kecil untuk bayi 0–6 bulan, Bintang Ceria untuk 6–12 bulan, Bintang Pijar 12–24 bulan, hingga Bintang Terang untuk usia 24–36 bulan.
Eka dan empat fasilitator lainnya memastikan setiap anak mendapatkan perhatian khusus yang sesuai dengan tahap perkembangan mereka. Tidak hanya itu, orang tua juga diajak untuk belajar memahami kebutuhan anak mereka melalui edukasi yang rutin diberikan.
Tantangan yang Membawa Kebahagiaan
Pekerjaan yang digelutinya, tidak selalu berjalan mulus. Eka mengakui ada tantangan besar dalam mendidik anak-anak maupun membimbing orang tua mereka.
"Kadang, ada orang tua yang merasa pengasuhan itu hanya tanggung jawab ibu. Tapi ketika kami melibatkan ayah dalam kegiatan, hasilnya luar biasa. Saya pernah melihat seorang ayah yang awalnya hanya mengantar anak, akhirnya ikut bertanya tentang cara mendidik. Itu sangat menyentuh hati saya," kata Eka, matanya bersinar penuh semangat.
Eka percaya, pengasuhan adalah tanggung jawab bersama dan anak-anak adalah harapan masa depan.
"Melihat mereka mulai berani berbicara, bermain, bahkan saling membantu, itu adalah kebahagiaan yang tidak bisa diukur dengan apapun," katanya.
Menyemai Harapan di Bandarharjo
Rumah Anak SIGAP tidak hanya tempat belajar bagi anak-anak, tetapi juga ruang tumbuh bagi Eka. Setiap harinya, ia menemukan makna baru dalam pekerjaannya.
"Hati saya ada di sini. Anak-anak ini mengajarkan saya cinta itu tidak membutuhkan balasan. Tugas kami hanya memberi yang terbaik,” kataya dengan senyum yang seolah tidak pernah lelah.
Di mata masyarakat, Eka mungkin hanyalah seorang wanita biasa namun, di mata anak-anak di Rumah Anak SIGAP, ia adalah pahlawan kecil yang selalu hadir untuk mereka. Di setiap langkah dan sentuhannya, ia menyemai harapan dan keberanian. Melalui dirinya, generasi muda di Kampung Bandarharjo tidak hanya belajar bertumbuh, tetapi juga bermimpi besar.
Eka Rahayuningsih adalah bukti bahwa cinta dan pengabdian, meski sederhana, bisa membawa perubahan besar bagi mereka yang membutuhkan.
*Penulis: Mothy, Media & Communication Coordinator Tanoto Foundation Regional Jawa
Editor:
Edhy Susilo
COPYRIGHT © ANTARA 2025