Mulai Konflik Agraria hingga RUU Pertanahan Belum Tuntas
Kamis, 19 Desember 2013 20:28 WIB
Jika melihat hasil pembangunan di bidang sumber-sumber agraria dan pertanian sejak SBY berkuasa 2004 hingga akhir 2013 ini, dapat disimpulkan bahwa akses dan kontrol rakyat terhadap sumber-sumber agraria atau sumber daya alam (SDA) makin menghilang.
"Bisa dikatakan, sepanjang kekuasaan SBY, rakyat khususnya mereka para petani, perempuan, dan masyarakat adat setiap hari makin kehilangan tanah dan air mereka," kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin dalam konferensi pers laporan akhir tahun di Jakarta, Kamis (19/12).
Pada tahun 2013, Sekjen KPA menilai bahwa kebijakan agraria yang telah dilakukan oleh Pemerintah pada tahun-tahun sebelumnya telah memasuki usia matang.
Aneka kebijakan yang memberikan prioritas tanah dan kekayaan alam bagi pengusaha skala besar, baik asing maupun nasional, seperti Undang-Undang Minerba, UU Penanaman Modal, UU Penataan Ruang, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum.
Menurut dia semuanya itu di bingkai dalam program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) berjalan dengan mulus dan telah menghasilkan struktur ketimpangan agraria yang sangat mengerikan. Sebab, di satu sisi rakyat dirampas hak atas tanah dan airnya, sementara pada sisi yang lain penguasaan korporasi atas sumber sumber-sumber agraria semakin diperluas.
Namun, ingar-bingar perampasan tanah rakyat sepanjang tahun 2013 seolah tertutup oleh ingar-bingar politik nasional menjelang Pemilu 2014. Padahal, panggung politik nasional Indonesia selama ini lebih diisi oleh kegaduhan tokoh dan elite politik yang berebut kue kekuasaan.
Tak mengherankan, jika kegaduhan tersebut bukanlah berisi debat konsep dan program politik yang dihasilkan oleh para politikus dalam upaya menjaring suara dan menjawab persoalan yang dialami rakyat.
Sumber-sumber agraria adalah semua bagian bumi yang mampu memberi penghidupan bagi manusia, meliputi isi perut bumi, tanah, air, udara maupun tumbuh-tumbuhan yang terdapat di atasnya (KPA, 1997).
Malaadministrasi Pertanahan
Minimnya perhatian negara dan kekuatan politik terhadap masalah-masalah agraria, khususnya perampasan tanah air rakyat dianggap tidak lebih sebagai sebuah kejadian konflik, sebuah peristiwa yang disebabkan oleh malaadministrasi pertanahan dan sumber daya alam.
Pandangan ini telah berkontribusi besar dalam menghasilkan solusi tambal sulam terhadap problem agraria nasional.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Konsorsium Pembaruan Agraria pada tahun ini kembali melaporkan situasi agraria di lapangan, khususnya terkait dengan konflik agraria yang terus-menerus terjadi dengan frekuensi kejadian yang terus meningkat setiap tahun.
Ironisnya, menurut Iwan Nurdin, Pemerintah lepas tangan dalam pencegahan, penanganan, dan penyelesaian konflik agraria secara menyeluruh dan tuntas, yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban tewas dan kriminalisasi oleh aparat .
Konflik agraria yang dilaporkan oleh KPA ini adalah konflik agraria struktural, yaitu konflik agraria yang mengakibatkan dampak serta korban yang meluas dalam dimensi sosial ekonomi dan politik akibat kebijakan yang dilakukan oleh pejabat publik. Dengan demikian, sengketa pertanahan dan perkara pertanahan yang kerap muncul tidak termasuk ke dalam kategori konflik di dalam laporan ini.
Rekaman konflik pada tahun 2013 yang dilakukan oleh KPA ini menggunakan data dari sumber (korban) langsung yang melaporkan kejadian konflik agraria secara langsung kepada KPA di Sekretariat Nasional dan KPA Wilayah di berbagai provinsi, dari jaringan serta hasil pantauan pemberitaan sejumlah media massa.
Dengan metode tersebut, tentu saja angka yang disajikan oleh KPA ini adalah angka minimal dari jumlah konflik agraria yang benar-benar terjadi di Tanah Air pada tahun ini.
Sepanjang tahun 2013, KPA mencatat terdapat 369 konflik agraria dengan luasan mencapai 1.281.660.09 hektare dan melibatkan 139.874 kepala keluarga.
Jika konflik yang terjadi dilihat berdasarkan setiap sektor konflik agraria, kata Iwan Nurdin, persebarannya berdasarkan sektor sepanjang tahun, yakni sektor perkebunan sebanyak 180 konflik (48,78 persen); infrastruktur 105 konflik (28,46 persen), pertambangan 38 konflik (10,3 persen); kehutanan 31 konflik (8,4 persen); pesisir/kelautan 9 konflik (2,44 persen), dan lain-lain 6 konflik (1,63 persen).
"Dengan bahasa lain, hampir setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria di Tanah Air, yang melibatkan 383 KK (1.532 jiwa) dengan luasan wilayah konflik sekurang-kurangnya 3.512 hektare," kata Iwan dalam siaran pers yang diterima Antara di Semarang, Kamis (19/12).
Perkebunan, infrastruktur, dan pertambangan adalah area di mana konflik agraria yang paling sering terjadi. Namun, dalam hal luasan area konflik, kawasan kehutanan merupakan area konflik agraria terluas, yaitu 545.258 hektare, kemudian perkebunan seluas 527.939,27 hektare, dan sektor pertambangan seluas 197.365,90 hektare.
Sepanjang tahun 2012, KPA mencatat terdapat 198 konflik agraria di seluruh Indonesia. Luasan areal konflik mencapai lebih dari 963.411,2 hektare, yang melibatkan 141.915 KK. Dari sisi korban 156 orang petani telah ditahan, 55 orang mengalami luka-luka akibat penganiayaan, 25 orang di antaranya luka akibat tertembak dan tiga jiwa melayang dalam konflik-konflik agraria yang terjadi.
Sementara itu, total luasan konflik agraria pada tahun 2013 mencapai 1.281.660,09 hektare yang melibatkan 139.874 KK sebagai korban konflik. Jika dibandingkan dengan luas area konflik pada tahun 2012, terdapat peningkatan luas areal konflik sejumlah 318.248,89 atau naik 33,03 persen lebih tinggi daripada luas areal konflik 2012. Dari sisi jumlah, dibandingkan 2012 juga mengalami kenaikan dari 198 konflik agraria pada tahun 2012 menjadi 369 konflik pada tahun 2013 atau meningkat 86,36 persen.
Pangkal Konflik Agraria
"Jika kita melihat bahwa areal izin usaha pertambangan yang ada selama ini, yang didominasi oleh areal pinjam-pakai kawasan hutan dan areal perkebunan juga merupakan lahan konversi dari kawasan hutan, dapat disimpulkan bahwa kawasan hutan menurut definisi yang dicantumkan oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sesungguhnya merupakan 'muasal' pokok dari konflik agraria yang terjadi," kata Sekjen KPA Iwan Nurdin.
Dari catatan KPA, selama lima tahun terakhir (2009--2013), telah terjadi peningkatan jumlah konflik sebanyak 314 persen atau tiga kali lipat jika dibandingkan dengan 2009.
Terjadi peningkatan luasan areal konflik 2013 sebanyak 861 persen dibandingkan 2009. Jumlah kepala keluarga yang terlibat konflik pada tahun 2013 juga meningkat 1.744 persen dibandingkan 2009.
"Mengapa konflik agraria cenderung meningkat dan meluas setiap tahun? Jika kita sandingkan dengan aneka kebijakan agraria sepanjang kekuasaan SBY, hal tersebut dapat dipahami. Prioritas tanah dan air dalam perode kekuasaan SBY memang tidak diperuntukkan kepada rakyat, tetapi untuk para pengusaha/investor skala besar," katanya.
Menurut dia, sepuluh besar provinsi dengan wilayah yang mengalami konflik agraria di Tanah Air tahun ini adalah Sumatera Utara (10,84 persen), Jawa Timur (10,57 persen), Jawa Barat (8,94 persen), Riau (8,67 persen), Sumatera Selatan (26 kasus), Jambi (5,96 persen), DKI Jakarta (5,69 persen), Jawa Tengah (4,61 persen), Sulawesi Tengah (3,52 persen), dan Lampung (2,98 persen).
Data tersebut hanya menampilkan peta sebaran konflik yang terjadi pada tahun ini, dan belum sepenuhnya menunjukkan bahwa provinsi tersebut memiliki konflik agraria terbanyak. Sebab, bisa jadi provinsi lain mengalami konflik agraria yang tinggi namun tidak meletus (laten) dalam peristiwa konflik agraria pada tahun ini.
Melihat profil sebaran konflik di provinsi sepanjang tahun 2013, yang didominasi oleh sector perkebunan, maka dapat dilihat bahwa konflik agraria akibat kebijakan agraria masa kolonial hingga era Orde Baru yang sebagian besar menjadi PTPN belum terselesaikan dan masih menyisakan bara panas, khususnya di Sumatera Utara dan Jawa.
Selanjutnya, provinsi di mana ekspansi perkebunan dan kehutanan tengah berlangsung, seperti di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, dan Lampung juga mengalami konflik agraria yang frekuensinya terus meningkat. Ini juga menunjukkan, bahwa ekspansi perkebunan, pertambangan dan kehutanan sesungguhnya selalu bersamaan dengan peristiwa perampasan tanah dan air yang selama ini dikelola oleh masyarakat, mengingat izin dan hak yang diberikan kepada perusahaan sesungguhnya berada di dalam wilayah kelola masyarakat.
Sementara itu, DKI Jakarta dan provinsi di Pulau Jawa serta Sumatera pada tahun ini banyak mengalami konflik karena proyek pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur dengan dalih kepentingan umum. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, terjadi kenaikan 175 persen konflik di bidang pembangunan infrastruktur.
Konflik bidang infrastruktur ini memperlihatkan bahwa UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum dan peraturan pelaksanaanya tidak dapat mengantisipasi dan menyelesaikan konflik akibat pengadaan tanah. Justru, dari data yang ada UU ini nyata berkontribusi dalam memperluas konflik agraria dalam bidang pengadaan tanah untuk pembangunan.
Jatuhnya korban jiwa akibat konflik agraria tahun ini juga meningkat drastis sebanyak 525 persen. Pada tahun lalu, korban tewas dalam konflik agraria sebanyak tiga petani, sementara pada tahun ini konflik agraria telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 21 orang. Sebanyak 30 orang tertembak, 130 orang mengalami penganiayaan, dan 239 orang ditahan oleh aparat keamanan.
Ia mengatakan bahwa meningkatnya jumlah korban tewas dalam konflik agraria pada tahun ini sangat memprihatinkan dan menandakan bahwa masyarakat telah menjadi korban langsung dari cara-cara ekstrem dan represif pihak aparat keamanan (TNI/Polri), pamswakarsa perusahaan, dan juga para preman bayaran perusahaan dalam konflik agraria. Pelaku kekerasan dalam konflik agraria sepanjang tahun 2013 didominasi oleh aparat kepolisian sebanyak 47 kasus, pihak keamanaan perusahaan 29 kasus, dan TNI 9 kasus.
Kebijakan Agraria 2013
Secara filosofis, masalah utama kebijakan agraria di Indonesia adalah politik hukum agraria yang memprioritaskan kekayaan alam, khususnya tanah, bukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahkan, proses lahirnya kebijakan-kebijakan agraria, menurut dia, banyak disetir oleh kepentingan pemodal besar dan lembaga keuangan internasional. Sebagai contoh UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum yang disokong oleh Asian Development Bank (ADB) dalam rangka memuluskan hutang proyek-proyek infrastruktur.
Di sisi lain, masalah utama secara teknis implementatif adalah terjadinya tumpang-tindih hukum dan peraturan. Sedikitnya terdapat 12 undang-undang yang tumpang- tindih; 48 peraturan presiden; 22 keputusan presiden, 4 instruksi presiden, dan 496 peraturan/keputusan/surat edaran dan instruksi menteri negara/Kepala BPN yang mengatur soal agrarian.
Ia menjelaskan bahwa tumpang-tindih tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua hal besar, yakni pertama tidak sinkronnya peraturan hukum yang mengatur sumber agraria atau SDA dengan hukum yang lebih tinggi (UUD, Tap MPR, dan UU), bahkan peraturan perundang-undangan ini dipreteli, diselewengkan, dan tidak menjadi rujukan oleh peraturan hukum yang lebih rendah; kedua, disharmoni hukum, berupa peraturan hukum yang levelnya sama mengatur secara berbeda dan bahkan bertolak belakang.
Akibatnya, terdapat berbagai macam kementerian/lembaga yang mempunyai wewenang dalam mengatur pengelolaan SDA tanpa saling koordinasi bisa mengeluarkan kebijakan yang tumpang-tindih terhadap sebuah lokasi.
Hal ini diperburuk dengan perilaku aparat birokrasi yang dominan berwatak pemburu rente ekonomi (rent seeker) melalui berbagai izin yang dikeluarkannya. Rakyatlah yang menjadi korban utama dari aneka keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat publik, sebab kebijakan tersebut berada di atas wilayah kelola mereka yang tidak dilindungi dan diakui oleh Negara.
Terhadap potensi korupsi akibat ulah para pejabat pemburu rente ini, menurut dia, sesungguhnya lembaga negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan dapat menjadi pemutus rantai atas penyelewengan-penyelewengan berbagai hak konsesi dan izin-izin usaha di bidang agraria yang telah dikeluarkan oleh para pejabat publik dan instansi pemerintahan.
"Implementasi hasil Nota Kesepakatan Bersama 12 Kementerian dan Lembaga (NKB 12 K/L) tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan yang digagas KPK dan UKP4 pada tahun 2013 hingga kini masih dipertanyakan," ujarnya.
Padahal, lanjut dia, NKB 12 K/L ini dianggap sebagai terobosan maju sekaligus potensial menjadi ruang koordinasi untuk menghentikan egosektoral antara kementerian dan lembaga-lembaga terkait dengan bidang agraria yang selama ini berkontribusi terhadap terjadinya tumpang-tindih kebijakan, klaim penguasaan, dan kewenangan dalam hal penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria sekaligus berkontribusi sangat besar terhadap terjadinya konflik-konflik agraria struktural di Tanah Air akibat kebijakan dan kewenangan yang tumpang tindih tersebut.
Dalam pidato sambutan Kepala BPN RI Hendarman Supandji pada pertemuan para pengajar dan pemerhati hukum agraria seluruh Indonesia, Universitas Trisakti, Jakarta, 4 Juli 2013, menyatakan bahwa terdapat 632 peraturan agraria yang tumpang-tindih. Lebih jauh, vide www.bpn.go.id.
RUU Pertanahan
Di sisi lain, kata Sekjen KPA Iwan Nurdin, inisiatif Komisi II DPR RI untuk mendorong RUU Pertanahan yang semula ditargetkan akan rampung pada tahun 2013, kembali mengundang pertanyaan terhadap komitmen DPR untuk menjalankan reformasi agraria secara menyeluruh sebagaimana mandat UUPA 1960 dan TAP MPR No. IX tahun 2009 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Kendati telah memasukan "Bab Reforma Agraria" dalam RUU ini, seolah setali tiga uang dengan pemerintahan SBY, dan ingin melanjutkan kembali kekeliruan pemahaman dan pembelokan agenda reformasi agraria sejati lagi-lagi dimaknai menjadi sekadar redistribusi tanah (atas tanah-tanah yang notabene sudah dikuasai dan digarap masyarakat) dan proses sertifikasi belaka, yang mengarah pada pasar tanah dan potensi konsentrasi tanah kembali kepada para penguasa dan pemilik modal.
Dengan begitu, semangat dan jiwa RUU Pertanahan ini masih belum sejalan dengan semangat dan jiwa UUPA serta reformasi agraria (sejati) yang sunguh-sunguh diabdikan untuk mengakhiri ketimpangan struktur agraria yang melanda negeri ini demi kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berbeda dengan kebijakan promodal yang berjalan dengan mulus, sejumlah kebijakan hasil perjuangan masyarakat melalui lembaga-lembaga negara diamputasi secara sadar oleh Pemerintah.
Pada tahun ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan dua putusan yang membuat lega publik. Pada tanggal 16 Mei 2013, atas permohonan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), MK mengabulkan permohonan bahwa hutan adat bukan lagi merupakan bagian dari hutan negara. Dalam putusan ini, klaim UU Kehutanan bahwa kawasan hutan merupakan hutan negara oleh MK disebut sebagai hal yang bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945).
Namun, putusan tersebut tidak serta-merta memberi jalan keluar bagi pengakuan hak-hak masyarakat adat atas hutan adatnya, mengingat putusan MK ini tidak segera ditindaklanjuti oleh Pemerintah untuk melakukan pemetaan secara partisipatif atas wilayah-wilayah hutan masyarakat adat.
Bahkan, kementerian kehutanan menuduh bahwa putusan MK tersebut mengakibatkan lahirnya masyarakat adat jadi-jadian. Padahal, ketidakmauan Pemerintah menjalankan putusan ini menyebabkan langkah pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di wilayah hutan mereka menjadi makin menjauh.
Kemudian, pada tanggal 18 Juli 2013, MK juga mengabulkan "judicial review" Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman yang diajukan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI), IHCS dll.
Dalam putusannya, MK mengabulkan permohonan dengan mencabut larangan bagi petani untuk memuliakan benih dan varietas yang mereka gunakan dalam rangka budi daya tanaman.
Putusan MK ini adalah langkah besar bagi tegaknya kemerdekaan petani dalam memuliakan benih varietas lokal dan menghentikan penangkapan sejumlah petani yang melakukan pemuliaan benih sendiri. Putusan ini juga menjadi jejak langkah penting bagi pertahanan kaum tani dalam melawan monopoli benih oleh perusahaan-perusahaan benih multinasional dan nasional.
Pada tahun ini, DPR RI dan Pemerintah telah mengesahkan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani menjadi UU. Namun, sebelum peraturan ini bisa dijalankan, telah menghadang sejumlah penyelewengan. Paket Bali dalam perundingan WTO di Bali awal Desember lalu akan menggergaji sejumlah niatan dari UU ini.
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor:
Kliwon
COPYRIGHT © ANTARA 2025