Rob dan Tanggung Jawab Moral Wakil Rakyat
Rabu, 9 April 2014 15:34 WIB
Lelaki itu, Sami Waskito (50), berhasil mempreteli sekrup demi sekrup, komponen demi komponen kipas angin yang ternyata milik tetangganya yang karena rusak kemudian "dititipkan" padanya untuk direparasi.
Sudah sekitar 17 tahun ini Pak Waskito--demikian para tetangga biasa memanggilnya--menekuni jasa reparasi barang-barang elektronik selepas "banting setir" dari sopir mobil "rental", pekerjaannya dulu.
Beraneka barang-barang elektronik, mulai radio, televisi, hingga "VCD player", sudah akrab dengannya dan berhasil direparasinya berbekal keterampilan yang diperolehnya semasa ikut kursus elektronik.
Selepas DO (drop out) dari SMP, Pak Waskito bercerita dirinya memutuskan untuk mengikuti kursus elektronik meski ketika itu perangkat elektronik yang menjadi pelajaran kursus tak serumit dan semodern sekarang.
Di tengah memperbaiki kipas angin itu, Pak Waskito teringat ada alat-alatnya yang masih kurang sembari berdiri, kemudian masuk ke dalam rumah yang telah ditinggalinya sejak 1975 itu untuk mencarinya.
Rumah yang kini hanya tampak bagian atapnya karena kalah berlomba dengan lantai yang terus ditinggikan itu memaksa Pak Waskito membungkuk saat memasukinya, menerobos lubang pintu yang masih tersisa.
Lubang pintu rumahnya itu hanya menyisakan tinggi 60 centimeter, sampai-sampai daun pintu pun tak muat untuk dipasang. Pak Waskito mengakui rumahnya sudah "tenggelam" dua meter karena lantainya terus diuruk.
"'Nggih pripun malih, sagedipun namung nguruk'. (Ya, bagaimana lagi, bisanya cuma menguruk). Belum bisa meninggikan rumah. Kalau rumah, saya tidak pikir. Yang penting pendidikan anak," ungkap suami Sutati (50) itu.
Bapak lima anak itu pun bercerita kalau bisa menyekolahkan keempat anaknya sampai jenjang SMA, tinggal si bungsu yang sekarang ini masih duduk di bangku SMP, tetapi ikut neneknya di Ungaran, Kabupaten Semarang.
Tiga seperempat bagian rumahnya sudah tergenang rob, hanya tersisa ruang tamu yang relatif kering. Namun, Pak Waskito tetap menempatinya bersama sang istri, termasuk untuk tidur dan aktivitas rumah tangga lainnya.
"Anak saya yang kedua kerja di luar Jawa, anak ketiga saya perempuan, sudah menikah, sekarang tinggal di rumah saudara. Tinggal anak pertama dan keempat saya di sini. Akan tetapi, kalau tidur, di rumah temannya," ungkapnya.
Sebagaimana manusia umumnya, Pak Waskito tentu berharap hidup layak di tempat tinggalnya di Jalan Cumi-Cumi II A RT 4/RW 4 Bandarharjo, Semarang Utara itu, tetapi keterbatasan ekonomi memaksa rumahnya "tenggelam".
Namun, Pak Waskito tetap bersemangat menjalani hidup, termasuk bergumul dengan televisi rusak yang kini jadi "menu" rutinnya. Meski hasilnya tidak tentu, setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Ya, tidak tentu. Satu bulan ada 5--10 garapan (barang diservis), tetapi kadang satu bulan tidak ada sama sekali. Untung, ibunya anak-anak (istrinya, red.) masih kerja. Di pabrik garmen. Lumayan nutup," katanya.
Pak Waskito berprinsip tidak ingin merepotkan orang lain meski sedang kesusahan. Itulah yang membuatnya menolak niat baik tetangga-tetangganya membantu meninggikan rumahnya meski sebatas membangunkan fondasi.
"Janganlah. Saya tidak ingin merepotkan orang lain. Takutnya nanti saya tidak bisa membalas budi. 'Penginnya' anak-anak kerja biar bisa membantu 'benerin' rumah. Akan tetapi, ya, baru anak kedua saya yang kerja," ujarnya.
Selain Pak Waskito, masih banyak warga lain di Kota Semarang yang bernasib sama, terutama yang tinggal di kawasan pinggiran, berhimpitan dengan laut, tak berdaya jika harus berlomba dengan rob dan banjir.
Peran Wakil Rakyat
Rob, berupa limpasan air laut ke daratan sebenarnya merupakan fenomena yang sudah sedemikian akrab dengan masyarakat Kota Semarang. Tak ubahnya dengan banjir yang juga menjadi "langganan" di Kota Lumpia.
Menurut pakar hidrologi Universitas Diponegoro Semarang Ir. Nelwan, rob dan banjir sebenarnya tidak lepas dari fenomena penurunan muka tanah yang terjadi di Kota Semarang dari tahun ke tahun yang kian parah.
"Permukaan tanah di Kota Semarang terus menurun dari tahun ke tahun. Penyebabnya kompleks, mulai abrasi pantai hingga pengambilan air bawah tanah (ABT) yang tak terkendali. Ini harus diatasi," katanya.
Salah satu solusi yang ditawarkannya, yakni pembangunan sabuk pantai multifungsi dengan konstruksi tiang pancang di sepanjang pantai di pesisir Kota Semarang untuk menahan tanah agar tidak semakin turun.
Namun, konsep yang ditawarkan kalangan akademisi itu tampaknya harus beradu dengan usulan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo membangun "giant sea wall" yang juga diklaim sebagai solusi mengatasi rob dan banjir.
Di sisi lain, nasib warga Kota Semarang, seperti halnya Pak Waskito tentu tak bisa dilepaskan dari peran para wakil rakyat, terutama mereka yang duduk di DPRD Kota Semarang yang dipilih setiap lima tahun.
Pada tanggal 9 April ini, seluruh rakyat Indonesia, tak terkecuali warga Kota Semarang, kembali berhadapan dengan pesta demokrasi untuk memilih wakil-wakilnya yang akan memperjuangkan nasib mereka lima tahun ke depan.
Rob, menjadi permasalahan klasik yang menimpa kawasan Semarang Utara karena letaknya di pesisir, masih ditambah banjir jika memasuki musim hujan. Semarang Timur dan Tengah juga tak luput dari ancaman banjir.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Semarang, ada 96 calon anggota DPRD Kota Semarang dari Daerah Pemilihan Semarang II, meliputi Semarang Utara, Semarang Timur, dan Semarang Tengah.
Sebanyak 96 caleg dari 12 parpol itu bertarung pada ajang pesta demokrasi sekarang ini, tepat 9 April 2014 untuk memperebutkan kursi DPRD Kota Semarang, mewakili masyarakat dari dapil mereka berasal.
Tercatat, Partai Nasdem, PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Golkar, Gerindra, Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Hanura, dan PKPI sama-sama mengusung sembilan caleg.
Disusul Partai Persatuan Pembangunan yang mengusung sebanyak lima caleg, sementara Partai Bulan Bintang hanya mengusung satu calon anggota DPRD Kota Semarang untuk Dapil Semarang II pada Pemilu 2014.
Memang tidak semuanya terpilih menjadi wakil rakyat periode ini, tetapi siapa pun yang terpilih memiliki tugas berat mengemban amanat masyarakat, termasuk memperjuangkan nasib Pak Waskito dan korban-korban rob lainnya.
Di tangan mereka kelak, Pak Waskito dan para warga korban rob lain yang ada di kawasan Semarang Utara, Semarang Timur, dan Semarang Tengah yang masuk Dapil Semarang II menggantungkan harapannya lima tahun ke depan.
Pak Waskito dan para korban rob lain tidak mau ambil pusing dengan konsep yang diambil pemerintah sebagai solusi mengatasi rob apakah jadi dengan membangun sabuk pantai multifungsi ataukah "giant sea wall".
Yang penting bagi mereka, konsep apa pun tidak masalah asalkan bisa menyelesaikan persoalan rob. Pertama, tentu memperjuangkan agar rumah-rumah mereka yang rusak karena digerogoti rob bisa dibenahi.
Warga Semarang Utara yang kebanyakan kalangan ekonomi bawah tentu tak kuat jika harus menanggung beban sendiri. Bahkan, sekadar "mengangkat" rumah agar tidak kalah dengan lantai yang terus diuruk pun tak kuat.
"'Nek kulo boten ngertos nopo niku sabuk pantai, nopo malih 'wal-wal' niku'. (Kalau saya tidak tahu apa itu sabuk pantai, apalagi 'giant sea wall', red.). Yang penting, 'boten' (tidak, red.) rob lagi," tutup Waskito.
Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor:
M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025