Sebagai pembeli, ANTARA seperti biasa, memilah dan memilih deretan menu yang disajikan. Ada minuman, makanan ringan, hingga makanan berat. Yang pasti, di daftar menu selalu ada kopi.
Kopinya pun beragam, ada basic coffee, espresso, double espresso, americano long black, cappucino, mochaccino, sanger arabica, kopi susu aren, avocado coffee, hingga vanilla coffee.
"Berapa totalnya?", tanya ANTARA kepada sang kasir De Era Coffee itu, setelah memesan menu yang kemudian dijawab pakai bahasa Indonesia dengan logat Aceh yang bermakna, bayarnya nanti saja setelah makan.
Begitu selesai makan, orang-orang pun segera menuju ke meja kasir untuk melunasi makanan dan minuman yang dipesan dan sudah masuk ke perutnya.
Kedai-kedai kopi semacam itu memang menjamur di Banda Aceh. Meski tak semata menjual kopi, warga lokal tetap saja menyebutnya warkop alias warung kopi.
Bahkan, nongkrong di warkop sudah menjadi semacam budaya yang begitu melekat bagi masyarakat Aceh. Tidak kenal pagi, siang, sore, maupun malam hari.
Bagi yang tak suka atau tak terbiasa ngopi, tak perlu khawatir. Menu minuman lain juga tersedia, seperti teh, coklat, dan beraneka minuman lain yang tak mengandung kopi sama sekali.
Menariknya, pola transaksinya sama. Calon pembeli memesan dulu, lalu makan atau minum menu yang sudah mereka dipesan, baru setelah itu membayar ke kasir.
"Apakah enggak takut rugi kalau pembeli curang?" tanya ANTARA penasaran, sebab pembeli bisa saja curang dengan cara berbohong atau bisa saja lupa dengan apa saja yang dipesan. Namanya saja manusia, tempatnya salah dan lupa.
Persoalannya, pembeli di warkop itu tak hanya satu-dua, tetapi puluhan, bahkan mungkin ratusan. Banyak sekali dan terus berganti. Rasanya saja sulit untuk mengingat wajah-wajah para pembeli, apalagi mengingat persis pesanannya, meskipun dicatat di kertas.
Belum lagi, warkop-warkop di Aceh sangat terbuka bangunannya, tak ada sekat tembok apalagi pintu. Bukan berprasangka buruk, tapi bisa saja pembeli langsung "ngeluyur" saking ramainya.
"Ya, ada lah bang satu-dua (pembeli yang curang, red.). Kadang lari, tak langsung lari. Biasanya pindah-pindah meja terus pergi. Kalau begitu, kami yang ganti (nombok, red.)," kata Aris yang sudah lebih dari dua tahun bekerja di warkop itu sebagai kasir.
Namun, pria berkumis itu memastikan pembeli curang semacam itu hanya satu-dua orang. Selebihnya, jujur. Buktinya, sistem pembayaran model begitu masih dipertahankan di kedai kopi itu.
Terkadang, pembeli tidak berniat curang, tetapi memang lupa. Jadi, ada makanan atau minuman yang tak disebutnya waktu membayar. Tempo hari saat kembali, pembeli itu mengingatkan kasir bahwa ada dulu kekurangan pembayaran dan melunasinya.
Pembeli adalah raja
Sistem pembayaran seperti yang diterapkan di warkop-warkop itu ternyata juga menjadi strategi pedagang sesuai dengan pepatah bahwa "pembeli adalah raja".
Kebetulan, ANTARA bertemu dengan Cut Mahathir Firdaus, pemilik warkop lainnya, yakni BTJ Kupi. Usianya masih sangat muda, baru 30 tahun, namun sudah mengelola bisnis yang membawahi 30 karyawan.
"Kalau warkop memang begini sistemnya (makan dulu baru bayar, red.). Yang namanya orang, pembeli ingin dirajakan. Kalau kami budayakan bayar dulu di Aceh, sepi," ujarnya.
Masyarakat Aceh sudah terbiasa dengan sistem transaksi di warkop seperti itu, apalagi pangsa pasarnya sangat luas. Jangan kira hanya anak muda, keluarga dan orang-orang tua pun kerap nongkrong di warkop.
Di warkopnya yang belum genap enam bulan, Mahathir hanya menyediakan beberapa menu kopi, seperti kopi sanger dan kopi hitam robusta. Selebihnya, minuman nonkopi, seperti jahe sere madu yang justru jadi andalan.
Untuk melengkapi warkopnya, jebolan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh itu menggandeng UMKM lokal dengan membikinkan lapak untuk berjualan.
Setidaknya ada 25 lapak makanan melengkapi warkopnya yang berlokasi strategis, persis di belakang Stadion Harapan Bangsa (SHB) Banda Aceh, dengan deretan kantor pemerintahan di sekitarnya.
Ada beragam menu, mulai nasi bebek ayam kampung, kebab, mie bruek, kerang rebus, martabak durian, sate padang, tahu goreng, bakso, hingga mie bangladesh yang semakin membuat warkopnya nyaris tak pernah sepi.
Uniknya, pengusaha yang membuka warkop mulai 18 April 2024 itu tak menarik sewa atas lapak-lapak tersebut. Namun, hanya mengambil bagian Rp2.000 dari setiap porsi makanan yang terjual di masing-masing lapak. Lagi-lagi kejujuran memegang peranan.
Soal pembeli curang, pria ramah itu tak mempersoalkan karena setiap orang pasti akan mempertanggungjawabkan perbuatannya kelak di hadapan Tuhan.
"Saya yakin aja, meyakinkan diri 100 persen. Saya yakin dan percaya karena enggak pernah ngambil punya orang. Kalau (pembeli, red.) tidak bayar, ada lah kedapatan beberapa kali," ungkap Mahathir.
Biasanya, para penjual makanan justru yang melapor jika notanya ada yang kurang atau hilang. Maklum, nota pesanan makanan dan minuman memang ditempel di masing-masing meja pembeli.
Dari laporan itu, selanjutnya dilakukan pengecekan melalui perangkat CCTV yang terpasang 13 unit di warkop itu dan pasti akan ketahuan sosok pembeli yang curang.
Namun, Mahathir tak pernah meminta karyawannya menegur, apalagi melabraknya ketika pembeli itu terlihat datang kembali. Bisa saja memang sedang tidak punya uang, lupa, atau entah sengaja. Biarkan saja, prinsipnya.
"Silakan mau makan sepuasnya. Kalau enggak bayar akan mikir sendiri di akhirat. Karena pasti hidupnya enggak tenang. Enggak berkah," tegasnya, seraya menunjukkan foto sederet pesohor yang pernah mampir ke warkopnya, seperti Ifan Seventeen, Marcell Siahaan, hingga Ustadz Abdul Somad (UAS).
Prinsip kejujuran
Ternyata, warung-warung makan di Banda Aceh juga menerapkan pola serupa. Seperti kedai kari kambing di ujung Pasar Aceh yang pembelinya nyaris tak pernah berhenti, datang silih berganti.
Bahkan, di warung itu malah tak ada model pesan menu. Pembeli tinggal ambil sendiri nasi dan lauk apa saja yang dipilih, barulah minuman yang memesan.
Selesai makan, pembeli disuruh mengingat-ingat sendiri makanan dan minuman yang telah dipesan, kemudian dihitung kasir dan bayar, selesai.
Berbeda memang dengan kebanyakan sistem transaksi di gerai-gerai makanan modern macam "fastfood". Pembeli memesan menu, membayar dulu, baru setelah itu boleh membawa makanan dan minumannya.
Bahkan, transaksi model itu sudah mulai diterapkan di warung-warung tradisional di banyak daerah. Mungkin mereka mengantisipasi pembeli yang nakal.
Sebenarnya, sebagian besar warung tegal (warteg) masih mempertahankan pola transaksi tradisional, seperti yang dipakai di Aceh. Makan dulu, selesai, baru bayar.
Namun, ukuran ruangan warteg tak sebesar warkop di Aceh dan akses keluar-masuk pembeli pun paling banyak cuma lewat dua pintu. Artinya, lebih mudah mengawasi pembeli.
Masih soal kejujuran, baru saja ada seorang pelatih Muaythai dari Jawa Timur Soldier Of Fortuna yang berkisah sempat dua kali ponselnya tertinggal Gedung Bale Meuseuraya Banda Aceh, namun ternyata tak hilang diambil orang.
Seingatnya, kali pertama ponselnya tertinggal di toilet dan kedua kalinya di teras Bale Meuseuraya Banda Aceh, dan ponsel miliknya itu ternyata dititipkan di pos satpam oleh si penemu.
Bahkan, mungkin karena terburu-buru, mantan pelatih tinju itu sempat pula tak sengaja meninggalkan kunci motor yang masih menempel di parkiran. Sampai dirinya kembali, kuncinya ternyata masih utuh beserta motornya.
Kisah ini sempat viral berseliweran di berbagai platform media sosial (medsos) yang menunjukkan bagaimana prinsip kejujuran yang dipegang teguh masyarakat Aceh.
Dalam ajaran Islam, kejujuran juga menjadi salah satu sifat Nabi Muhammad SAW, yakni "Shiddiq" yang harus diteladani betul oleh umatnya.
Malu lah semestinya sebagai umat Muslim jika tak menerapkan keteladanan sifat jujur yang dicontohkan Rasulullah SAW dalam kehidupan sehari-hari.
Apalagi, Aceh, sebagai satu-satunya daerah di Indonesia yang diberikan kekhususan atau otoritas untuk menerapkan syariat Islam yang diatur melalui Qanun Aceh, menjadi benteng penguat prinsip kejujuran yang mesti dipegang.
Kisah kejujuran yang terselip di sela pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI 2024 Aceh-Sumatra Utara, di Banda Aceh itu pun menjadi kontras rasanya ketika masyarakat setiap hari disuguhi berita-berita tentang korupsi yang dilakukan pejabat dan keculasan masyarakat kelas atas.