Logo Header Antaranews Jateng

Majikan Besar Itu Rakyat

Rabu, 21 Agustus 2013 16:14 WIB
Image Print
Ganjar Pranowo


Kata "kami" bukan hanya menunjuk dirinya bersama Wakil Gubernur Heru Sudjatmoko, melainkan juga kepada sekitar 17.000 pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Jateng.

Istilah babu terasa jauh lebih tegas ketimbang pembantu, yang agak eufimistis. Ganjar tentu sadar mengapa lebih suka menggunakan kata babu. Itu untuk mempertegas posisi dan tugas pejabat publik seperti dirinya dan para birokrat. Sudah terlalu lama birokrasi menjadi majikan publik yang seharusnya dilayani.

Kulktur birokrasi yang dilayani bukan hanya monopoli Jawa Tengah. Hampir di semua daerah, termasuk di lingkungan Pemerintah Pusat, birokratlah yang menjadi majikan. Pembiaran atas kesalahan tersebut nyaris menjadi kebenaran. Padahal, rakyatlah tuannya. Majikanlah yang berhak memerintah babunya untuk melayani.

Beban penyelenggaraan pemerintahan, termasuk gaji birokrat, seluruhnya dibayari oleh rakyat melalui pajak atau penerimaan negara yang menjadi milik orang banyak. Oleh karena itu, wajar bila sang majikan harus mendapat pelayanan prima dari babu.

Namun, praktik selama puluhan tahun telah membalikkan posisi itu. Majikan jadi babu, jongos malah bertindak sebagai bos. Salah posisi ini sudah lama dianggap wajar. Kultur feodalistik kawula-gusti yang masih melekat malah melanggengkan salah kaprah itu karena birokrat senantiasa menempatkan diri sebagai gusti. Sedangkan rakyat yang seharusnya dilayani, selama ini malah mengabdi dan melayani birokrasi.

Ganjar Pranowo menyadari hal itu. Politikus PDI Perjuangan ini ingin mengembalikan posisi sebenarnya masing-masing pihak. Ia menegaskan posisinya, bersama birokrat, siap menjadi babu, pelayan, pengabdi majikan. Majikan Besar itu adalah rakyat.

Bukan rahasia lagi bila warga yang mengurus KTP, kartu keluarga, akta lahir, surat kematian, SIM, izin usaha, atau perizinan malah dimintai uang pelicin di luar tarif resmi. Praktik ilegal ini memang mulai berkurang, namun keluhan masih tetap ada. Kita berharap Ganjar memiliki semangat tempur yang tangguh untuk mereformasi birokrasi. Mengapa? Di mana pun tempatnya, perubahan bakal mengancam kelompok mapan (status quo). Mereka akan melawan. Perlawanan bakal dihadapi pula dalam setiap penciptaan sistem yang mereduksi praktik koruptif, kolutif, dan nepotis.

Oleh karena itu, Ganjar harus memiliki stamina kuat untuk membangun sikap dan budaya baru di lingkungan Pemprov Jateng. Godaan yang muncul dari lingkaran kekuasaan, baik di partai, birokrat, atau orang-orang yang pernah merasa berjasa atas terpilihnya dia sebagai gubernur, harus dienyahkan karena akan menjerumuskan.

Kekuasaan itu begitu gurih. Begitu manis. Begitu legit. Karena itu bikin ketagihan. Karena itu selalu menggoda. Karena itu banyak yang tergelincir ketika berkuasa.

Namun, sekitar 35 juta penduduk Jateng layak menggantungkan harapan kepada Ganjar, yang jejak rekamnya sejauh menjadi politikus dan anggota DPR RI, tidak bermasalah. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan Ganjar-Heru, mulai dari masalah kemiskinan yang masih membelit perut belasan juta penduduk Jateng, pengangguran, rendahanya tingkat pendidikan, jeleknya infrastruktur, hingga mengubah mental birokrat dari majikan menjadi pelayan.

Dengan modal APBD Jateng 2013 hampir Rp12,5 triliun, jumlah ini sungguh bukan modal yang gede untuk melayani 35 juta jiwa. Oleh karena itu kerja sama dengan pemkab dan pemkot yang menjadi mutlak agar anggaran yang terbatas itu bisa berdaya guna untuk kepentingan orang banyak.

Memang banyak politikus bermasalah yang menghabiskan masa gemilangnya di balik jeruji bui karena terlibat korupsi. Akan tetapi, kita melihat masih ada politikus yang bekerja dengan hati, rela bekerja keras mempersembahkan yang terbaik untuk rakyat, Sang Majikan Besar.

Selamat berkarya untuk Ganjar dan Heru. ***










Pewarta :
Editor: Zaenal A.
COPYRIGHT © ANTARA 2025