BPJS Ketenagakerjaan Perjuangkan Jaminan Sosial
Sabtu, 27 Mei 2017 16:10 WIB
Direktur BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto (tengah) seusai memberikan kuliah umum di Kampus Undip Tembalang Semarang, Jumat (26/5). (Foto: ANTARAJATENG.COM/Nur Istibsaroh)
Semarang, ANTARA JATENG - Jaminan sosial menjadi hak setiap manusia seperti dideklarasikan Perserikatan Bangsa Bangsa pada 1948, konvensi International Labour Organization pada 1952, dan di Indonesia diatur dalam UUD 1945.
Amendemen kedua dan keempat UUD 1945 Pasal 28H dan Pasal 34 secara eksplisit menyatakan seluruh rakyat Indonesia berhak atas jaminan sosial.
Amanat konstitusi tersebut diimplementasikan dalam UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS),
Ketentuan itu pada prinsipnya menyatakan kepesertaan jaminan sosial bersifat wajib karena kehadirannya melindungi dan memberikan manfaat serta pengelolaan dana dikembalikan kembali kepada peserta.
Untuk meningkatkan manfaat kepada peserta tanpa membebani pendanaan di kemudian hari, dalam perjalanannya BPJS Ketenagakerjaan memiliki banyak tantangan.
Tingkat pendidikan peserta yang masih rendah misalnya, menjadi persoalan sendiri untuk keberlangsungan pembayaran kepesertaan.
BPJS Ketenagakerjaan juga harus menghadapi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2015 yang memberikan kewenangan kepada PT Taspen (Persero) untuk mengelola program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan aparatur sipil negara (ASN).
Tumpang Tindih
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto menjelaskan bahwa PP Tahun 2015 bertentangan dengan aturan di atasnya dan selaku penyelenggaran jaminan sosial.
Terkait dengan hal itu, BPJS Ketenagakerjaan telah mengajukan keberatan kepada pemerintah, DPR, dan pemangku kepentingan terkait agar melihat, mengkaji, dan menata sehingga sesuai dan tertib aturan.
Undang-Undang Nomomr 24/2011 tentang BPJS dengan jelas menyatakan bahwa pengelolaan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun adalah kewenangan BPJS Ketenagakerjaan bukan PT Taspen dan PT Asabri.
Undang-undang tersebut juga menjelaskan bahwa perlindungan jaminan sosial untuk sektor ketenagakerjaan di Indonensia hanya dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
"Ini sudah ada lho UU di atasnya yang mengatur. Jangan sampai terjadi disharmoni atau tidak sinkron dengan peraturan yang di bawahnya," katanya sela kuliah umum di Kampus Undip Tembalang Semarang, Jumat (26/5).
Dalam kuliah umum dengan peserta mahasiswa fakultas hukum mulai strata 1 (S1) hingga mahasiswa program doktoral dan disiarkan "live streaming" di sejumlah fakultas hukum perguruan tinggi di Indonesia tersebut, BPJS Ketenagakerjaan ingin mengajak civitas akademika melihat dan mengkaji regulasi secara konstruksi hukum.
Sistem jaminan sosial di Indonesia banyak yang bisa dikaji di lingkungan civitas akademika terkait dengan rancang bangun struktur hukum dan pentingnya memiliki jaminan sosial, khususnya yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Rektor Universitas Diponegoro Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum merespons positif terhadap kuliah umum mengenai jaminan sosial oleh BPJS Ketenagakerjaan tersebut.
Melalui kegiatan itu, diharapkan mahasiswa mendapatkan pemahaman lebih mengenai jaminan sosial.
"Memang lembaga pendidikan, tempatnya untuk mengkaji. Di sini ada mahasiswa S2 dan S3. Apalagi kebijakannya terbuka untuk dikaji dan kebenaran adalah berproses," katanya.
Hal sama juga disampaikan Dekan Fakultas Hukum Undip Prof. Dr. Benny Riyanto, S.H., M.Hum dengan menilai bahwa ada banyak yang perlu dikaji seperti halnya mengenai UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 dibedakan dua model manajemen pilihan.
"Kenapa tidak satu rumah atau wadah dan ini bisa dipertanyakan secara akademis. Terkait PP 70 Tahun 2015, muncul pertanyaan kenapa aparatur sipil negara (ASN) tidak `di-handle` BPJS Ketenagakerjaan. Ada banyak regulasi yang inefisiensi dan tumpang tindih," katanya.
Manfaat Program
BPJS Ketenagakerjaan sebagai penyelenggaran jaminan sosial bagi para tenaga kerja dan pekerja mandiri, telah menjalankan empat program, yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang membiayai peserta yang mengalami kecelakaan kerja tanpa ada batas pembiayaan dan pembiayaan sampai sembuh. Bahkan, jika peserta mengalami cacat akan ada santunan dan pendampingan hingga peserta dapat kembali bekerja.
Program kedua Jaminan Kematian (JKM) yakni santunan kematian dan jika disebabkan kecelakaan, ahli waris akan mendapatkan 48 kali gaji yang dilaporkan. Jika peserta meninggalkan anak, akan ada beasiswa yang diberikan langsung sebesar Rp12 juta.
Agus Susanto menjelaskan bahwa saat ini pihaknya telah mengusulkan kepada pemangku kepentingan terkait agar beasiswa pendidikan diberikan kepada anak hingga lulus sarjana (anak sampai usia 23 tahun) dengan harapan pendidikan anak tidak terlantar.
Beasiswa tersebut dibayarkan pada saat pembayaran uang sekolah atau uang kuliah. Usulan tersebut masih menunggu payung hukum.
Program ketiga Jaminan Hari Tua (JHT), sama halnya tabungan sosial bagi pekerja dengan sistem potong gaji dan akan diberikan seketika pada saat usia tidak produktif/pensiun/PHK, atau meninggal dunia.
Program lainnya, Jaminan Pensiun yang baru dua tahun berjalan dan sudah ada 30 juta peserta program yang besaran iurannya hanya 3 persen dari upah.
Pengelolaan jaminan sosial dari masing-masing manfaat tersebut berdasarkan program dan bukan berdasarkan segmen pasar. Jika dilihat dari sisi ekonomisnya, pengelolaan yang terjaga kesinambungannya adalah pengelolaan yang jumlahnya besar.
"Kalau pengelolaan yang berdasarkan segmen, misal hanya PNS kemudian dibuat program, sementara jumlahnya sedikit juga dananya sedikit. Begitu ada kejadian maka akan bisa menghantam pendanaan. Siapa yang dirugikan, tentu akan kembali negara yang dirugikan," katanya.
Pengelolaan jaminan sosial oleh BPJS, ucapnya, sifatnya nonprofit atau nirlaba.
Oleh karena itu, jika dikelola satu BUMN dan sifatnya "profit oriented", dikhawatirkan tidak akan optimal dalam memberikan manfaat.
"Karenanya, kami mengajak para mahasiswa untuk melihat bagaimana konstruksi hukum yang tepat, bagaimana agar pengelolaan sistem jaminan sosial itu bisa efektif dan efisien," katanya.
Tinjau Ulang
Khusus untuk besaran iuran program pensiun, sesuai regulasi 3 tahun sekali akan ditinjau ulang dan sesuai hitungan BPJS Ketenagakerjaan jika tidak ada kenaikan besaran iuran, maka akan defisit pada 2067.
BPJS Ketenagakerjaan tidak ada kapasitas untuk menaikkan besaran iuran.
"Kami hanya mengajak `stakeholder` terkait melihat fakta-faktanya," katanya.
Berdasarkan milestone, dengan iuran 3 persen dari upah, pada 2046 masih akan surplus dengan uang pokok dan hasil pengembangan, kemudian pada 2056 hasil pengembangan sudah habis, dan pada 2067 sudah mulai "makan" iuran pokoknya, sehingga defisit.
"Ini perlu dikaji dan ditinjau kembali. Jangan sampai menjadi bencana nasional, seperti di negara lain, seperti di Yunani dan Brazil terjadi kerusuhan karena manfaatnya diturunkan," katanya.
Kajian sementara, katanya, besaran iuran program pensiun menuju ke 8 persen dan jika menengok ke negara lain, seperti Singapura besaran iuran 37 persen dan Malaysia 26 persen.
BPJS Ketenagakerjaan juga terus melakukan sejumlah strategi untuk terus meningkatan manfaat kepada peserta dengan melakukan kolaborasi dengan industri asuransi, industri dana pensiun, industri keuangan, perbankan, dan sejumlah pemangku kepentingan lainnya.
Selain itu, pendekatan kemanfaatan untuk meningkatkan jumlah kepesertaan.
"Kami ingin pekerja memiliki kemauan dan kemampuan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Bukan karena takut undang-undang, tetapi karena sudah menjadi kebutuhan dan manfaat sebagai peserta yang luar biasa `meng-cover` sosial ekonomi mereka," kata Agus Susanto.
Amendemen kedua dan keempat UUD 1945 Pasal 28H dan Pasal 34 secara eksplisit menyatakan seluruh rakyat Indonesia berhak atas jaminan sosial.
Amanat konstitusi tersebut diimplementasikan dalam UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS),
Ketentuan itu pada prinsipnya menyatakan kepesertaan jaminan sosial bersifat wajib karena kehadirannya melindungi dan memberikan manfaat serta pengelolaan dana dikembalikan kembali kepada peserta.
Untuk meningkatkan manfaat kepada peserta tanpa membebani pendanaan di kemudian hari, dalam perjalanannya BPJS Ketenagakerjaan memiliki banyak tantangan.
Tingkat pendidikan peserta yang masih rendah misalnya, menjadi persoalan sendiri untuk keberlangsungan pembayaran kepesertaan.
BPJS Ketenagakerjaan juga harus menghadapi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2015 yang memberikan kewenangan kepada PT Taspen (Persero) untuk mengelola program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan aparatur sipil negara (ASN).
Tumpang Tindih
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto menjelaskan bahwa PP Tahun 2015 bertentangan dengan aturan di atasnya dan selaku penyelenggaran jaminan sosial.
Terkait dengan hal itu, BPJS Ketenagakerjaan telah mengajukan keberatan kepada pemerintah, DPR, dan pemangku kepentingan terkait agar melihat, mengkaji, dan menata sehingga sesuai dan tertib aturan.
Undang-Undang Nomomr 24/2011 tentang BPJS dengan jelas menyatakan bahwa pengelolaan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun adalah kewenangan BPJS Ketenagakerjaan bukan PT Taspen dan PT Asabri.
Undang-undang tersebut juga menjelaskan bahwa perlindungan jaminan sosial untuk sektor ketenagakerjaan di Indonensia hanya dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
"Ini sudah ada lho UU di atasnya yang mengatur. Jangan sampai terjadi disharmoni atau tidak sinkron dengan peraturan yang di bawahnya," katanya sela kuliah umum di Kampus Undip Tembalang Semarang, Jumat (26/5).
Dalam kuliah umum dengan peserta mahasiswa fakultas hukum mulai strata 1 (S1) hingga mahasiswa program doktoral dan disiarkan "live streaming" di sejumlah fakultas hukum perguruan tinggi di Indonesia tersebut, BPJS Ketenagakerjaan ingin mengajak civitas akademika melihat dan mengkaji regulasi secara konstruksi hukum.
Sistem jaminan sosial di Indonesia banyak yang bisa dikaji di lingkungan civitas akademika terkait dengan rancang bangun struktur hukum dan pentingnya memiliki jaminan sosial, khususnya yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Rektor Universitas Diponegoro Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum merespons positif terhadap kuliah umum mengenai jaminan sosial oleh BPJS Ketenagakerjaan tersebut.
Melalui kegiatan itu, diharapkan mahasiswa mendapatkan pemahaman lebih mengenai jaminan sosial.
"Memang lembaga pendidikan, tempatnya untuk mengkaji. Di sini ada mahasiswa S2 dan S3. Apalagi kebijakannya terbuka untuk dikaji dan kebenaran adalah berproses," katanya.
Hal sama juga disampaikan Dekan Fakultas Hukum Undip Prof. Dr. Benny Riyanto, S.H., M.Hum dengan menilai bahwa ada banyak yang perlu dikaji seperti halnya mengenai UU Nomor 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 dibedakan dua model manajemen pilihan.
"Kenapa tidak satu rumah atau wadah dan ini bisa dipertanyakan secara akademis. Terkait PP 70 Tahun 2015, muncul pertanyaan kenapa aparatur sipil negara (ASN) tidak `di-handle` BPJS Ketenagakerjaan. Ada banyak regulasi yang inefisiensi dan tumpang tindih," katanya.
Manfaat Program
BPJS Ketenagakerjaan sebagai penyelenggaran jaminan sosial bagi para tenaga kerja dan pekerja mandiri, telah menjalankan empat program, yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang membiayai peserta yang mengalami kecelakaan kerja tanpa ada batas pembiayaan dan pembiayaan sampai sembuh. Bahkan, jika peserta mengalami cacat akan ada santunan dan pendampingan hingga peserta dapat kembali bekerja.
Program kedua Jaminan Kematian (JKM) yakni santunan kematian dan jika disebabkan kecelakaan, ahli waris akan mendapatkan 48 kali gaji yang dilaporkan. Jika peserta meninggalkan anak, akan ada beasiswa yang diberikan langsung sebesar Rp12 juta.
Agus Susanto menjelaskan bahwa saat ini pihaknya telah mengusulkan kepada pemangku kepentingan terkait agar beasiswa pendidikan diberikan kepada anak hingga lulus sarjana (anak sampai usia 23 tahun) dengan harapan pendidikan anak tidak terlantar.
Beasiswa tersebut dibayarkan pada saat pembayaran uang sekolah atau uang kuliah. Usulan tersebut masih menunggu payung hukum.
Program ketiga Jaminan Hari Tua (JHT), sama halnya tabungan sosial bagi pekerja dengan sistem potong gaji dan akan diberikan seketika pada saat usia tidak produktif/pensiun/PHK, atau meninggal dunia.
Program lainnya, Jaminan Pensiun yang baru dua tahun berjalan dan sudah ada 30 juta peserta program yang besaran iurannya hanya 3 persen dari upah.
Pengelolaan jaminan sosial dari masing-masing manfaat tersebut berdasarkan program dan bukan berdasarkan segmen pasar. Jika dilihat dari sisi ekonomisnya, pengelolaan yang terjaga kesinambungannya adalah pengelolaan yang jumlahnya besar.
"Kalau pengelolaan yang berdasarkan segmen, misal hanya PNS kemudian dibuat program, sementara jumlahnya sedikit juga dananya sedikit. Begitu ada kejadian maka akan bisa menghantam pendanaan. Siapa yang dirugikan, tentu akan kembali negara yang dirugikan," katanya.
Pengelolaan jaminan sosial oleh BPJS, ucapnya, sifatnya nonprofit atau nirlaba.
Oleh karena itu, jika dikelola satu BUMN dan sifatnya "profit oriented", dikhawatirkan tidak akan optimal dalam memberikan manfaat.
"Karenanya, kami mengajak para mahasiswa untuk melihat bagaimana konstruksi hukum yang tepat, bagaimana agar pengelolaan sistem jaminan sosial itu bisa efektif dan efisien," katanya.
Tinjau Ulang
Khusus untuk besaran iuran program pensiun, sesuai regulasi 3 tahun sekali akan ditinjau ulang dan sesuai hitungan BPJS Ketenagakerjaan jika tidak ada kenaikan besaran iuran, maka akan defisit pada 2067.
BPJS Ketenagakerjaan tidak ada kapasitas untuk menaikkan besaran iuran.
"Kami hanya mengajak `stakeholder` terkait melihat fakta-faktanya," katanya.
Berdasarkan milestone, dengan iuran 3 persen dari upah, pada 2046 masih akan surplus dengan uang pokok dan hasil pengembangan, kemudian pada 2056 hasil pengembangan sudah habis, dan pada 2067 sudah mulai "makan" iuran pokoknya, sehingga defisit.
"Ini perlu dikaji dan ditinjau kembali. Jangan sampai menjadi bencana nasional, seperti di negara lain, seperti di Yunani dan Brazil terjadi kerusuhan karena manfaatnya diturunkan," katanya.
Kajian sementara, katanya, besaran iuran program pensiun menuju ke 8 persen dan jika menengok ke negara lain, seperti Singapura besaran iuran 37 persen dan Malaysia 26 persen.
BPJS Ketenagakerjaan juga terus melakukan sejumlah strategi untuk terus meningkatan manfaat kepada peserta dengan melakukan kolaborasi dengan industri asuransi, industri dana pensiun, industri keuangan, perbankan, dan sejumlah pemangku kepentingan lainnya.
Selain itu, pendekatan kemanfaatan untuk meningkatkan jumlah kepesertaan.
"Kami ingin pekerja memiliki kemauan dan kemampuan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Bukan karena takut undang-undang, tetapi karena sudah menjadi kebutuhan dan manfaat sebagai peserta yang luar biasa `meng-cover` sosial ekonomi mereka," kata Agus Susanto.
Pewarta : Nur Istibsaroh
Editor :
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
BPJS Ketenagakerjaan kelola dana Program Jaminan Pensiun capai Rp189,2 triliun
20 January 2025 16:06 WIB
Pemerintah melalui BPJS Ketenagakerjaan berikan diskon 50 persen untuk iuran
10 January 2025 15:45 WIB
Terpopuler - Pumpunan
Lihat Juga
"Sepenggal Kisah" BPJS Ketenagakerjaan bagi penggali kubur dan pemandi jenazah
22 November 2024 21:06 WIB