Semarang (ANTARA) - Bambang Haryo Soekartono (BHS), anggota Komisi VI DPR RI periode 2014-2019 meminta pemerintah pusat maupun daerah untuk memfasilitasi warganya yang hendak pulang ke kampung halamannya masing-masing saat pandemi COVID-19.

"Pulang kampung itu jangan disamakan dengan mudik. Kalau pulang kampung itu ada hal persoalan yang mendasari seperti gagalnya atas pekerjaan selama di rantau dan memutuskan kembali lagi hidup di daerah asal, tapi kalau mudik itu sifatnya hanya untuk kepentingan silaturrahmi," katanya melalui siaran pers yang diterima di Semarang, Sabtu.

Politikus Partai Gerindra itu mengapresiasi dan mengaku sepakat dengan pernyataan Presiden Joko Widodo mengenai mudik dan pulang kampung.

Menurut Bambang, mudik itu istilah yang sudah lazim digunakan untuk mengunjungi keluarga di musim liburan hari besar keagamaan seperti Idul Fitri, Idul Adha, Natal, Galungan dan lain sebagainya sebagai tradisi, budaya serta agama.

Bagi mereka yang melakukan mudik, kata dia, sudah pasti menyesuaikan dengan jadwal libur yang telah ditetapkan oleh pemerintah maupun aturan dari instansi maupun perusahaan masing-masing.

"Mudik itu sifatnya sementara untuk anjangsana ataupun silaturahmi kepada keluarga yang menyesuaikan waktu libur, sedangkan pulang kampung itu hal yang lebih umum dan luas akibat urgensinya yang lebih bila dibandingkan dengan mudik yang hanya sebatas momennya saja," ujarnya.

Ia menyebut, mudik bisa dikatakan pulang kampung, tapi pulang kampung belum tentu sama dengan mudik.

Terkait dengan pengertian pulang kampung, Bambang sepakat dengan apa yang disampaikan Presiden Jokowi membolehkan pulang kampung di awal pernyataannya karena seseorang itu memutuskan pulang ke kampung asalnya itu tentu dengan pertimbangan yang matang dan bersifat penting.

Ini karena keputusan itu akan bisa mengakhiri segala aktivitasnya, terkait pekerjaan secara permanen ataupun sementara di mana yang bersangkutan mencari penghidupan di kota perantauan seperti Jakarta, Surabaya, Kalimantan, atau Sulawesi.

Bisa juga karena misalnya permasalahan rumah tangga yang sebagian anggota keluarga memutuskan untuk pulang ke kampung asal perantau guna memulai hidup baru karena pimpinan keluarga sudah tidak bekerja lagi atau juga karena keadaan kondisi keluarga yang di kampung membutuhkan sebagian keluarga di perantauan untuk kembali karena harus merawat keluarganya yang sakit.

Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah pusat ataupun daerah asal warga perantau, harus bisa memfasilitasi kembali warganya yang merantau dan gagal di daerah orang.

Selain itu, juga kewajiban daerah asal usul perantau untuk bisa melindungi warganya yang ada di perantauan atau bahkan mengajak warganya kembali pulang ke kampungnya agar tidak tertular virus COVID-19.

"Bukan malah pemerintah daerah menolak warganya untuk kembali ke kampung halamannya pada saat pandemi COVID-19 di perantauan. Tentunya, di saat kembali harus memenuhi standarisasi protokol kesehatan untuk memutus mata rantai penyebaran virus," katanya.

Apabila yang bersangkutan tidak bisa kembali pulang kampung, sudah kewajiban dari daerah asal perantau bisa melindungi warganya selama di perantauan dengan memberikan jaminan kesehatan dan kehidupannya apabila diperlukan.

"Jadi, pemerintah daerah asal perantau harus betul-betul memiliki tanggung jawab untuk masyarakatnya yang merantau di kota perantau," ujarnya.

Secara psikologis, Bambang melihat orang dalam keadaan gagal di perantauan akibat wabah COVID-19 tentu akan sangat tertekan  karena takut tertular sehingga butuh perlakuan yang tidak memperburuk keadaannya.

"Bagaimanapun juga, warga yang masih memegang KTP daerah asalnya itu sebagai pendukung dari kepala daerah masing-masing yang telah menuangkan hak pilihnya sehingga pemerintah daerah itu harus betul-betul mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakatnya," katanya.