Solo (ANTARA) -
Serikat pekerja meminta pengawas ketenagakerjaan bebas dari intervensi sehingga bisa lebih objektif ketika menghadapi konflik antara perusahaan dan buruh.

"Terkait pengawasan, kami minta agar tidak dari PNS (pegawai negeri sipil). Pengawas ini kan tadinya milik kota, karena alasannya ada intervensi dari pemkot sehingga kemudian mandul," kata Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Solo Wahyu Rahadi di Solo, Senin.

Meski demikian, dikatakannya, saat ini realita yang terjadi di lapangan masih sama, yaitu bagian pengawasan belum melakukan tugas dengan maksimal, termasuk melakukan teguran jika terjadi pelanggaran.

"Ternyata (pengawas) masih tetap memberikan ruang pada proses pelanggaran yang terjadi di perusahaan-perusahaan, ini yang kemudian menjadi PR pemerintah untuk seharusnya melakukan pengawasan dengan sungguh-sungguh," katanya.

Terkait pelanggaran yang masih sering terjadi, pihaknya mengaku kecewa apalagi tidak ada tindakan tegas sebagai sanksinya.

"Ada teman-teman (buruh) yang pernah punya kasus, ada satu perusahaan tidak membayar sesuai dengan upah minimum bahkan menghitung dengan jumlah jam, itu pun jawaban dari pengawas masih diperbolehkan," katanya.

Baca juga: Buruh minta rumpun ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Omnibus Law

Pihaknya lebih setuju apabila pengawas ketenagakerjaan dalam bentuk "ad hoc" atau dibentuk dalam jangka waktu tertentu. Menurut dia, pengawasan dengan melibatkan "ad hoc" akan lebih netral.

"Jadi lebih 'fair' melihatnya, karena ini kan terkait dengan pengawasan undang-undang. Masalahnya bukan bagus atau tidak tetapi lebih ke penegakan, sampai hari kan tidak tegak juga. Kami juga khawatir justru nanti omnibus ini (UU Cipta Kerja) juga tidak tegak, itu akan jadi masalah," katanya.

Sementara itu, mengenai UU Cipta Kerja sendiri, pihaknya ingin klaster ketenagakerjaan menjadi fokus, termasuk permasalahan aturan yang tadinya diatur dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 kemudian dihapus dan hanya dimasukkan ke dalam Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden, atau bahkan Peraturan Menteri.

"Termasuk PHK (pemutusan hubungan kerja) di draft (UU Cipta Kerja) yang kami terima masih 32 kali (untuk pesangon yang diberikan) dengan masa kerja di atas 24 tahun, tetapi kata DPR hanya jadi 25 kali yang 19 dibayar pengusaha dan 6 dibayar pemerintah, teknisnya seperti apa kan tidak dijelaskan. Bahkan pasal yang dihilangkan seperti apa yang dimaksud PHK dengan kesalahan, efisiensi itu dihilangkan dan sekarang masih menunggu PP-nya," katanya.

Ia mengatakan jika aturan tersebut tidak dicantumkan dalam UU maka berpotensi akan selalu berganti seiring dengan pergantian pemerintah.

"Ini kemudian menjadi ketidakpastian, kalau dengan UU kan tidak," katanya.
Baca juga: Ganjar undang serikat pekerja diskusikan UU Cipta Kerja