Hakim Binsar: Tes Keperawanan dan Keperjakaan Lindungi Harkat Martabat Perempuan
Rabu, 13 September 2017 13:03 WIB
Jakarta, ANTARA JATENG - Hakim Binsar Gultom menanggapi protes
terhadap saran tes keperawanan yang dimuat dalam bukunya "Pandangan
Kritis Seorang Hakim".
Binsar Gultom menulis
banyak perkawinan yang kandas akibat dimulai dengan terpaksa, termasuk
karena hamil di luar nikah. Tes keperawanan adalah salah satu hal yang
diusulkannya untuk menekan tingkat perceraian di Indonesia.
Binsar
menegaskan, usulan tes keperawanan adalah ditujukan sebagai masukan
kepada orangtua yang akan menikahkan anaknya. Usulan ini untuk
diterapkan secara internal, dalam lingkup keluarga.
"Agar
setiap anaknya hendak menikah betul-betul memperhatikan keperawanan
anaknya sudah dirusak kaum lelaki tersebut (calon suami) atau belum,"
kata dia.
Jika memang calon suami istri ini
sudah berhubungan badan sebelum menikah, orangtua diajak untuk mengawasi
apakah pernikahan dilaksanakan atas dasar cinta atau terpaksa, misalnya
terlanjur hamil.
Selain tes keperawanan, Binsar juga berpendapat sudah saatnya ada tes keperjakaan terhadap pria demi keutuhan rumah tangga.
"Ilmu
kedokteran kan sudah canggih termasuk teknologinya, tidak ada alasan
dokter spesialis penyakit dalam, atau ahli kelamin tidak bisa mendeteksi
seorang pria masih perjaka atau tidak. Ini menjadi PR bagi pemerintah,"
kata Binsar dalam pernyataan yang diterima ANTARA News, Rabu.
Ia
kembali menekankan usulan tes keperawanan dan keperjakaan justru untuk
melindungi harkat martabat perempuan yang selama ini menjadi korban.
"Bayangkan
ketika wanita tersebut bukan perawan lagi karena sudah direnggut oleh
pria calon suaminya. Ternyata calon suami tersebut bersedia menikah
dengan si wanita tersebut karena takut "aibnya" diketahui publik."
"Mereka
sebelumnya melakukan itu hanya karena nafsu birahi, bukan karena saling
mencintai dengan tulus. Jika seperti ini keadaannya mereka dikawinkan,
dapat saya pastikan usia mahligai rumah tangga tersebut tidak akan
panjang. Fakta empiris inilah yang saya maksudkan salah satu faktor
penyebab pecahnya rumah tangga, yang berdampak terjadinya KDRT dan
perceraian."
Menurut Binsar, pendapat ini murni
datang dari dirinya sendiri. Bila pandangannya memang berseberangan
dengan pihak-pihak lain, Binsar mengajak untuk saling berelaborasi
secara profesional.
Sebelumnya, Masyarakat
Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI
FHUI) menyampaikan protes terhadap pernyataan Binsar Gultom. Mereka
meminta buku "Pandangan Kritis Seorang Hakim" yang sudah beredar agar
ditarik dan direvisi.
Binsar menyesalkan pernyataan MaPPI FHUI yang disebut "terkesan emosional".
"Memangnya
MaPPI sudah mengkaji secara komprehensif isi buku tersebut. Mestinya
bersyukur dong ada gagasan tersebut, sehingga kita bisa menemukan
solusinya. Jika ada yang pro dan kontra dengan pendapat isi buku
tersebut justru menjadi menarik untuk didiskusikan," kata Binsar.
"Jangan
serang pribadi penulis, tetapi beri tanggapan positif atas isi buku
tersebut, sehingga menjadi sempurna, sehingga diskusi kita dalam buku
tersebut menjadi lengkap."
Selain meminta buku
Binsar ditarik dan direvisi, MaPPI FHUI juga meminta agar Binsar meminta
maaf secara terbuka di media cetak dan elektronik atas pernyataannya
yang telah mendiskreditkan perempuan.
Mereka
pun mendesak Badan Pengawas Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI
agar memeriksa Hakim Binsar atas dugaan pelanggaran kode etik hakim.
Mahkamah
Agung RI juga diminta melakukan sosialisasi terhadap hakim di Indonesia
mengenai PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman dalam Mengadili
Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, juga memasukkan materi HAM
berperspektif gender pada seluruh kurikulum program pembinaan calon
hakim dan hakim.
Pewarta : Nanien Yuniar
Editor:
COPYRIGHT © ANTARA 2025