Purwokerto (ANTARA) - Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Manunggal Kusuma Wardaya mengatakan hukum dan perundang-undangan yang dibuat harus merefleksikan aspirasi rakyat.

"Parlemen dipilih oleh rakyat antara lain untuk membuat hukum perundangan. Dengan demikian diharapkan hukum dan perundang-undangan yang dibuat tak jauh dari aspirasi rakyat," katanya di Purwokerto, Jawa Tengah, Senin.

Untuk itu, dia berharap agar Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak menjadi undang-undang yang represif dan mengekang hak dan kebebasan konstitusional.

Undang-undang yang dibuat mestinya menjaga semangat rakyat. "Namun wajah hukum seperti dalam RKUHP dikhawatirkan memiliki watak yang represif bagi rakyat," katanya.

Manunggal yang juga merupakan salah satu pendiri Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM) Indonesia tersebut juga mengatakan bahwa aksi unjuk rasa mahasiswa yang dilakukan di sejumlah daerah menunjukkan kekhawatiran terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi dan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

"Karena hal tersebut dikhawatirkan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM dan merusak kohesi sosial," katanya.

Lebih dari 1.500 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Kabupaten Banyumas yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Banyumas menggelar unjuk rasa untuk menolak Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi dan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Demo yang digelar di depan Gedung DPRD Kabupaten Banyumas, Kompleks Pendopo Si Panji, Purwokerto, Jawa Tengah, Senin siang hingga sore, diisi dengan berbagai orasi yang disampaikan oleh perwakilan mahasiswa.
Baca juga: DPR setuju Pasal Perzinahan dalam RKUHP dihapus
Baca juga: 700 Pasal Dalam RKUHP Mendapat Koreksi