Magelang (ANTARA) - Dengan semringah, Sudardi (77) dan Wiwik Sarwini (67) bergegas menunjukkan beberapa macam tanaman komoditas pangan di pekarangan kecil di belakang rumah yang baru saja mereka tempati beberapa bulan terakhir.

Sinar Matahari pagi terasa menghangatkan cerita sepasang suami-istri lansia itu tentang asyiknya bercocok tanam, setelah mengundurkan diri sebagai pegawai harian kapel di tepi sawah di Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Selama sekitar 30 tahun, mereka mengurus kebersihan dan pekarangan kapel tersebut. Anaknya yang telah berkeluarga dan bekerja di ibu kota di Jakarta, kemudian membantunya membuat rumah di lahan kapling yang sekarang ditempati tersebut.

Baca juga: Telaah - Seniman Magelang siasati pandemi untuk terus berkarya

Satu kapling di belakang rumah Pakde-Bude Dardi --sebutan akrab mereka-- masih berupa tanah kosong. Pemiliknya yang penjual berbagai barang elektronik dan perlengkapan bangunan secara berkeliling antarpulau, saat ini masih "terjebak" di Palu, Sulawesi Tengah. Tidak bisa pulang ke Jawa karena pandemi virus corona jenis baru (COVID-19).

Tanah kosongnya dipinjamkan secara cuma-cuma kepada sepasang lansia itu untuk ditanami macam-macam komoditas pangan secara tumpang sari, seperti singkong, kacang panjang, bayam, lembayung, cabai, dan tomat.

"Saya bilang ke Om Herman (pemilik kapling, red.) untuk ngisi hari tua, untuk nanam-nanam. Apalagi sekarang katanya ada COVID (COVID-19) tidak tahu sampai kapan. Kan lumayan, besok punya sayuran sendiri, panen singkong juga, tidak perlu beli," kata Bude Dardi.

Sejumlah petani setempat lainnya, pada pagi yang hangat hari itu juga asyik bercengkerama dengan musim tanam padi di beberapa petak sawah di kawasan Kabupaten Magelang bagian utara yang berbatasan dengan Kabupaten Temanggung.

Beberapa kali panenan sayuran dari lahan kecil yang digarap Pakde-Bude Dardi itu, sebagian telah dibagi-bagikannya juga kepada para tetangga. Ihwal tersebut menandakan semangat kerukunan bertetangga di kompleks perumahan kapling itu sedemikian erat.

Sejumlah pemimpin komunitas keagamaan yang dianut pasangan lansia tersebut, belum lama ini, juga mengadakan pertemuan terbatas untuk membicarakan pentingnya mulai mengusahakan ketahanan pangan karena ketidakpastian tentang kapan pandemi virus berhenti dan ketidakmungkinan terus menerus mengandalkan bantuan sembako.

Mereka mulai mengantisipasi krisis pangan dengan mendorong setiap warga memanfaatkan lahan yang ada untuk budi daya pertanian tanaman pangan.

Seorang warga setempat lainya, Elisabeth Ika Listyorini (40), menunjukkan praktik terkesan sederhana di rumahnya, namun menjadi bermakna penting dalam mewujudkan kesadaran ketahanan pangan, dengan hasil parutan singkong.

"Nantinya dibikin tiwul," katanya melalui kanal percakapan tertutup pengurus komunitas setempat. Tiwul sesungguhnya bukan hanya dikenal sebagai produk makanan tradisional di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi juga beberapa daerah lainnya, seperti desa-desa di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Ketidakmungkinan secara terus menerus mengharapkan semata-mata jalur bantuan sembako dari pihak-pihak dermawan, lembaga, atau institusi, mendorong pentingnya warga mengeluarkan jurus membangun ketahanan pangan secara mandiri.

Presiden Joko Widodo menekankan tentang pentingnya antisipasi dan mitigasi krisis pangan sebagaimana secara global telah dikemukakan sebelumnya oleh Badan PBB untuk Pangan Dunia (FAO) terkait dengan dampak pandemi virus, yang juga harus dikerjakan Indonesia.

Terutama ketersediaan beras dengan kelancaran distribusi, tentu masih menjadi salah satu patokan penting menyangkut ketahanan pangan skala nasional.

Dalam mengatasi krisis pangan dampak virus, negara-negara produsen beras --termasuk Indonesia-- akan disibukkan mengatasi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu, sehingga urusan transaksi dan arus barang impor-ekspor menjadi redup.

Pemerintah mengalkulasi stok dan pasokan, termasuk membuka lahan baru dan menyiapkan lumbung pangan, supaya krisis pangan dapat ditekan seminimal mungkin pada waktu-waktu mendatang.

Bagi kalangan warga desa, barangkali persoalan ketersediaan bahan pangan tidak serumit mereka yang tinggal di kawasan perkotaan.

Lahan pertanian dan pekarangan desa masih cukup memadai untuk mengusahakan ketahanan pangan secara mandiri, terlebih selama pandemi. Hal tersebut, membuat mereka boleh jadi lebih ayem ketimbang warga perkotaan yang secara umum bergantung produk bahan pangan berwujud sembako.

Oleh karenanya, akhir-akhir ini aksi sosial dan kemanusiaan berupa pembagian sembako bagaikan hujan merata setiap hari pada awal musim kemarau di seantero negeri. Seorang petani mencangkul di persawahan di kawasan Secang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (9/5/2020). (ANTARA/Hari Atmoko)

Penyaluran bantuan sembako dikerjakan berbagai kalangan, seperti pemerintah, TNI, Polri, organisasi sosial kemasyarakatan, dan keagamaan, pengusaha, pelajar, mahasiswa, serta lembaga swadaya masyarakat, untuk meringankan beban warga terdampak pandemi.

Setiap paket sembako, umumnya berupa beras, mi instan, minyak goreng, tepung terigu, dan telur.

Untuk kebutuhan, seperti sayuran atau hasil pertanian segar lainnya, mereka masih menggantungkan kepada geliat pasar-pasar dengan rantai distribusinya sampai lalu lalang pedagang "eyek" (pedagang sayuran secara keliling).

Kelancaran dan ketepatan sasaran penyaluran sembako, mesti didukung dengan data akurat supaya tidak menimbulkan kecemburuan sosial.

Penyaluran bantuan yang tidak adil dan merata bisa mengakibatkan adanya warga menerima paket sembako bertubi-tubi, sedangkan sejumlah lainnya kelewatan.

Distribusi bantuan sembako harus merata, berdasarkan data resmi dengan harga setiap paket yang telah ditentukan dan bisa dipertanggungjawabkan.

Imbangi
Patut dipertanyakan sekuat apa energi pembagian sembako dalam mengimbangi kurun waktu pandemi COVID-19 yang sampai sekarang tidak jelas kapan garis akhirnya.

Bagi mereka yang tinggal di perkotaan, memang sebaiknya segera memanfaatkan ruang-ruang sempit di sekitar rumah untuk tempat budi daya tanaman komoditas dengan menggunakan pot dan teknologi pertanian modern secara praktis.

Hasilnya tentu diharapkan lumayan mendukung penghematan pengeluaran keluarga dalam menyiasati perlambatan ekonomi dampak pandemi.

Bagi Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dengan para pegiatnya kalangan seniman petani dusun-dusun di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh, boleh jadi pandemi COVID-19 kali ini mengingatkan kepada simpanan refleksi festival tahunan mereka ke-15 pada 2016 yang mengibarkan tema "Pala Kependhem".

Aset utama mereka yang tinggal di desa-desa dan gunung-gunung itu adalah lahan subur pertanian dan pekarangan. Oleh karenanya, kehidupan dan penghidupan mereka sehari-hari dari sektor itu, terutama hortikultura.

Ihwal yang membuat ayem mereka, ketika aneka sayuran secara tumpang sari itu tumbuh subur, sedangkan tabungan mereka berupa komoditas pala kependem.

"Kalau petani di sini baru saja panen kobis, lombok, caisim, buncis, mentimun. Kalau saya sekarang tanam jipang, caisim, dan menyiapkan 'ambyang-ambyang'  (konstruksi bambu/para-para) untuk tanaman waluh. Kalau kemarin sudah tanam kimpul dan tales," kata Riyadi, petani kawasan Gunung Merbabu yang juga salah satu petinggi Komunitas Lima Gunung.

Hasil panenan sayuran para petani setempat di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis itu, diambil bakul untuk dibawa ke pasar.

Begitu juga dengan juragan sayuran dari Gunung Andong, Kecamatan Ngablak yang juga Ketua Komunitas Lima Gunung, Supadi Haryanto.

Sampai saat ini, dengan mobil pikapnya, ia bersama istri masih mengangkut aneka sayuran, khususnya kobis panenan para petani mitranya di kawasan itu, ke Pasar Bandungan, Kabupaten Semarang meski jumlahnya tak sebanyak sebelum situasi pandemi.

Bagi warga desa, lahan pertanian menjadi tempat tabungan pangan. Aneka tanaman dan pala kependem atau umbi-umbian menjadi tabungan menghadapi krisis pangan.

Namun demikian, tentu saja mereka tidak menolak bantuan paket sembako, karena kebutuhan pangan sehari-hari tidak hanya bersumber dari sayuran.

Selain itu, dalam kultur budaya mereka tidak elok menolak bantuan. Terlebih, bantuan sembako juga menyokong ketahanan ekonomi rumah tangga desa di tengah pandemi virus.

Kiranya butuh siasat pengelolaan secara cermat untuk melengkapi guyuran hujan sembako, dengan menjadikan aneka sayuran dalam skala banyak menjadi wujud paket bantuan yang disalurkan kepada warga terdampak pandemi. Perlu dipikirkan secara matang juga karena sayuran pada umumnya berumur pendek.

Kalau cuma sekeranjang kecil sayuran, segenggam cabai, atau beberapa tomat dan wortel, biasanya petani senang memberikannya sebagai buah tangan tamu yang berkunjung. Boleh jadi, untuk tamu yang telah dianggap sebagai saudara atau keluarga mereka, malah disuruh memetik sendiri secara langsung di areal pertaniannya.

Dalam relasi itu, petani desa tidak menempatkan transaksi untung-rugi atau persoalan bantu-membantu. Namun, semangat kekeluargaan yang mereka kobarkan. Dalam suasana kebatinan tersebut, mungkin juga kedua pihak melupakan sejenak ancaman krisis pangan dampak pandemi.

Guyuran hujan sembako selain membantu warga terdampak pandemi juga mempertahankan perputaran mesin industri di tingkat pengolahan. Tentu saja, narasi tentang aksi sosial, kepedulian, dan kemanusiaan dalam wujud penyaluran sembako digelorakan.

Hal serupa, mesti dipandang penting juga untuk guyuran bantuan paket sayuran kepada warga terdampak pandemi, karena berarti penting guna menyambung napas petani dalam budi daya komoditas di lahannya, di tengah perlambatan ekonomi.

Dalam kondisi darurat dan untuk keluar dari ancaman krisis pangan dampak pandemi COVID-19, ada baiknya dijadikan juga penyaluran bantuan paket sembako beriringan dengan paket sayuran.

Baca juga: Telaah - Kota Magelang dalam catatan wabah ke wabah
Baca juga: Telaah - Tetirah bareng-bareng hadapi COVID-19